Sakit yang mungkin kubawa mati?
Sunday, November 11, 2018
1 Comment
Wahai cobaan, selama kau tak sampai membunuhku, kau bisa kukalahkan!
Bagai sebuah mantra, kalimat inilah yang menguasai pikiranku.
Seperti saripati nutrisi bagi tumbuhan, hingga ia punya alasan untuk terus hijau,
tumbuh dan berkembang. Bagai tabuhan genderang perang kala musuh merangsek ke
hadapan, tak henti-henti memacu nyali. Mantra itu menyala. Hanya satu tujuan,
hidup atau mati!
Sederhananya, bila musuh tak sanggup membunuhku, aku mampu
mengalahkannya. Begitu pula masalah. Selagi ia tak mampu menghabisi nyawaku,
masalah itu sungguh sanggup kutaklukkan.
Biasanya mantra ini berhasil. Masalah datang, lalu masalah
hilang. Senyum kembali mengembang. Seperti mereka dan siapapun, aku selalu
beranggapan, masalah dan cobaan pasti berlalu.
Tetapi tidak untuk kali ini. Saat mataku masih saja termangu
mendengar penjelasan dokter bedah, analisis dan diagnosanya setelah memantau
hasil CT-Scan kepalaku. Dengan penuh keyakinan ia menarik kesimpulan bahwa
infeksi telah menembus tulang tengkorak kepalaku. Mendengar ini, seperti ada alarm
bahaya berdenting di kepalaku. Habis sudah!
Sambil berupaya mengumpulkan kepingan puzzle kepercayaan diri yang tiba-tiba terserak, setengah tegang
kutanyakan, “Apa benar begitu dokter?”
“Ya. Maaf sebelumnya, saya kurang sependapat dengan diagnosa
spesialis radiologi yang menyatakan infeksi ini belum menembus tulang kepala. Maaf
sekali saya harus mengatakan itu dik. Kamu tahu sendirilah,” sorot mata sang
dokter bedah itu penuh arti.
Aku berusaha menebak. Ya, ini barangkali terkait pengalaman
yang dialaminya terhadap kualitas analisis sang spesialis radiologi yang kerap
meleset selama ini. Atau bisa pula aku mengira ini terkait rendahnya kualitas
alat CT-scan yang dimiliki rumah sakit hingga mengaburkan diagnosa. Entahlah. Tapi
aku mengangguk sok paham.
“Treatment untuk kasus kamu ini bukan jadi wilayah kerja
saya lagi, Dik. Saya akan rujuk ke spesialis bedah saraf, dan dokternya tidak
ada di rumah sakit ini. Hanya ada di RSUDZA. Saya akan rujuk ke sana. Nanti perawatannya
adalah sebagian tulang kepala akan diangkat dan dibuka lalu jaringan infeksi
didalamnya dibersihkan dan ditutup kembali,”
Terkejut alang kepalang batin ini. Tiba-tiba saja terbayang potret
menyedihkan saudaranya dari temanku yang hidup segan mati tak mau dengan kepala
ditumpangi bekas bedah yang tak kunjung sembuh setelah dilakukan bedah saraf
dan pembukaan sebagian tulang kepala.
Harus begitukah jalan hidupku ini ya Rabbi? Akankah aku
hidup dalam beban orang lain dalam waktu yang lama? Hidup tak berguna, mati pun
tak kunjung tiba.
Terbayang pula istriku yang tengah hamil tua dalam lemah
yang bertambah-tambah harus merawatku yang tak lagi bisa sekedar mengurus diri,
apa lagi untuk melindungi dan memberi rasa aman baginya.
“Meski begitu, sebelumnya saya ingin terakhir kali kamu
membawa hasil CT-Scan ini pada spesialis radiologi senior ke tempat prakteknya.
Letaknya di samping Kuala Raja Hotel. Setelah itu, kamu bawa kembali hasil
analisisnya kepada saya.” Tutur dokter bedah sembari menandatangani
berkas-berkas dan melipatnya kembali lantas menyerahkan kepada petugas perawat.
Ini pertanda habis penjelasan. Akupun tak hendak mengajukan tanya.
Telah jelas instruksinya, segera bawa hasil CT-Scan untuk dibaca oleh spesialis
radiologi senior yang berpraktek di samping Kuala Raja Hotel, Banda Aceh.
Seminggu kemudian aku kembali mendatangi dokter yang
menanganiku dengan membawa data hasil baca CT-Scan.
Ada harapan yang mengendap. Sejak pertama kali dikatakan
bahwa infeksi sudah menembus tempurung kepala, aku sudah ragu. Bukan karena
fatwa batin yang menginginkan aku harus baik-baik saja. Tetapi sedikit banyak
aku sering pula menyaksikan bias meragukan dari hasil foto roentgen yang kurang
baik saat koas gigi hingga mengaburkan diagnosis. Seringkali aku mengira itu
tampilan kelainan, tetapi langsung dimentahkan instruktur klinik. Itulah mengapa selain
tampilan radiologi/CT-Scan yang menjadi acuan, jangan pula lupakan gejala
klinis yang dirasakan si pasien.
Dilihat dari gejala klinis, tak ada rasa sakit tajam atau apalah
yang serius yang kurasakan selama ini. Semestinya bila infeksi telah menembus
tempurung kepala, setidaknya ada gejala apalah gitu. Aku tak paham. Tapi aku tetap
baik-baik saja. Tidak muncul gejala apapun selain rasa sakit karena
bertumpuknya nanah di bawah kulit kepala, nanah yang terus terproduksi tanpa tau kemana arah jalan keluar. Setiap bulan dan sepanjang tahun terus menerus kurasakan. Sudah 9
tahun lama.
Dan inilah masalah besarku. Kepala bernanah lalu sembuh,
lalu bernanah lagi lalu sembuhlagi. Begitu seterusnya. Sampai aku mengira ini
adalah azab Allah kepadaku.
Aku yakin – meski nilai keyakinan tak sampai 50% – infeksi tidak atau bisa pula dikata
belum menembus batok kepalaku. Ditambah lagi dari hasil baca spesialis
radiologi senior menyimpulkan bahwa infeksi belum menembus tulang kepala. Aku semakin
yakin, aku masih hendak ditolong Allah.
Ngomong-ngomong aku dengar spesialis radiologi senior ini
analisisnya sangat akurat dan dijadikan rujukan spesialis lainnya. Ada lega
yang mengendap di dadaku meski tak sepenuhnya. Setidaknya aku punya waktu untuk
memusnahkan penyakit ini sebelum benar-benar menggerogoti habis tulang kepala.
“Saya tetap yakin ini sudah menembus tulang kepala, Dik. Mohon
maap sebelumnya, ini saya sampaikan tanpa mengurangi rasa hormat dan takzim
saya pada spesialis radiologi senior itu. Saya tetap akan merujuk kamu ke
spesialis saraf di RSUDZA, karena ini sudah masuk wilayah kerja beliau,” dengan
segala kerendahan hati sang dokter bertutur.
Meski begitu Ia tetap memberikan pilihan kepadaku. Semenjak seminggu
yang lalu ada rencana aku pergi berobat ke RS di Malaysia. Batinku berkata,
bila segalanya masih belum jelas, bahkan diagnosis penyakitku masih
berbeda-beda, bolehlah aku berikhtiar lebih untuk menjemput sehat.
Adalah kurang etika bila aku tak meminta pendapat dokter
bedahku terkait niatan berobat ke Malaysia. Namun, ada benih khawatir pula yang
muncul jika seandainya ia berpikir aku tak percaya dengan kemampuannya. Tapi ini
mesti kusampaikan dengan berat hati.
“Boleh saja, ini pilihanmu. Tapi saya perlu sampaikan, taksiran
biaya perawatan bedah saraf pada kasusmu ini bisa mencapai dua puluh lima
hingga seratus juta, bisa pula lebih. Sedangkan di sini semuanya bisa gratis dengan
BPJS. Pilih yang mana?”
Alhamdulillah, ia cukup pengertian. Tak hendak menyalahkan, malah memberikan pilihan-pilihan tanpa memaksakan. Semua terserahku. Dan aku tetap
memilih ikhtiar berobat ke Malaysia.
Niat hati, aku hanya ingin sekedar mengetahui apakah infeksi
ini benar-benar telah menembus tulang kepala. Atau masih di luar tempurung
kepala. Selebihnya bila ternyata biaya perawatan sampai sebesar itu dan aku tak
sanggup, aku akan kembali dan menemui takdirku di tangan bedah saraf RSUDZA.
Sejauh ini, masalahku terdengar cukup pelik. Tapi, aku masih
percaya bahwa hari-hari yang akan datang pasti akan diuji dengan ujian yang jauh lebih
pelik lagi. Bila kutangisi, tak cukup semangkuk menampung air mata. Justru setelah
aku berkenalan dengan berbagai persoalan pelik yang menghampiri, aku semakin
bisa mengontrol air mata. Tak boleh ada air mata yang menetes untuk masalah
dunia.
Setetes air mata itu lebih mahal untuk menangisi cobaan
dunia.
______
*Apa kisah ini perlu dilanjutkan teman?
MGM National Harbor Resort & Casino - JetBlue
ReplyDeleteLocated off the Las Vegas Strip, MGM 문경 출장안마 National Harbor offers the best gaming and entertainment on 안양 출장샵 the 성남 출장샵 Las Vegas 상주 출장샵 Strip. Featuring 5 restaurants Rating: 4.4 · 51 votes 파주 출장안마