Antara Tamparan Sihir dan Kekuatan Micin
Thursday, November 22, 2018
9 Comments
Tubuhku tengah berada di ketinggian 36.000 kaki di atas
permukaan laut, entah kali keberapa aku merasakan berada di ketinggian ini
dalam situasi turbulensi cukup mendebarkan. Dua seat di sebelah kiriku ke arah
jendela pesawat diduduki ayah dan ibu mertuaku.
Beberapa jam kemudian pesawat mendarat di bandara Penang
dengan selamat.
Keesokan harinya kuamati rumah sakit dengan seksama. Aku
heran, mereka buka pagi sekali, Saat suasana masih cukup gelap. Kebiasaan yang
tidak akan pernah ditemui di negeriku. Pendaftaran dibuka dan antriannya
seperti biasa, cukup panjang.
Ada harap-harap cemas diagnosanya meleset. Manusiawi sekali
rasanya, saat ketakutan akan bayangan kematian itu berulang-ulang menyapa.
Bukan sakitnya kematian yang kukhawatirkan, tetapi di lembah mana akan dilemparkan
jiwa ini saat babak akhir penentuan nanti. Syurga itu terasa sungguh jauh dari
sekedar penglihatan mataku, sedang neraka kengeriannya mulai menjalar ke
pucuk-pucuk, tak sanggup dan tak ingin walau hanya sekedar untuk dibayangkan.
“Tak pe lah, tak usah risau, tak sampai menembus tulang” ujar
dr. Chan
Terbayang film upin ipin saat mendengar dokter ini bertutur.
Tubuhnya yang pendek berkulit putih dan bermata sipit mengonfirmasi bahwa ia
adalah keturunan Tionghoa. Serasa ingin meledak bahagia jiwaku saat mendengar
keterangan dr. Chan barusan.
“Yang benar dok? Infeksi tidak sampai menembus kepala? Jadi
tidak berbahaya? Tidak perlu sampai di angkat dan digergaji tulang kepala saya
kan dok?”
Ahh, mulutku nyerocos tak terkontrol demi inginnya mendapati
kenyataan penyakit yang telah bersemayam 9 tahun lamanya belum sampai
menghancurkan isi kepalaku. Ada gerimis haru dalam dada. Mataku mulai
berkaca-kaca. Terimakasih ya Allah, untuk yang kesekian kalinya Engkau sudi
kiranya menitipkan nyawa dalam jasadku yang hina ini.
dr. Chan menjelaskan bahwa kendati belum menembus masuk,
jaringan infeksi telah merusak sebagian tulang kepala luar. Oleh sebab itu,
tetap harus dilakukan prosedur operasi untuk pengambilan jaringan yang telah
terinfeksi.
Dengan berbekal anastesi lokal dr. Chan dan tim berjibaku
membelai-belai kepalaku dengan pisau tipis, kecil dan tajam. 4 jam lamanya
tubuhku rebah pasrah di meja operasi.
Jangan tanya bagaimana perasaanku saat darah mulai mengalir
ke telinga, leher dan dagu. Segala zikir dan ayat telah kurapalkan selama
proses berlangsung. Wahai Allah, engkaulah yang maha menghidupkan dan
mematikan. Ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba. Apapun suratan takdir yang
kau berikan untukku, ridhailah hidup dan matiku.
Tiga orang berseliweran dan bergantian membayang di pelupuk
mataku kala itu. Mereka adalah Ibuku, istriku dan janin bakal anakku yang
berumur delapan bulan. Semoga segalanya baik-baik saja.
Ini bukan kali pertama kepalaku ‘diobrak-abrik’. Sebelumnya
telah dua kali dilakukan operasi yang sama di lokasi yang sama. Yaitu pengangkatan
tumor sebesar biji jengkol. Operasi pertama tidak bersih dan tidak teliti, sel
tumor yang bersisa jadi mengamuk dan berkembang lebih agresif. Tak lebih dari sebulan
sel itu mulai menggandakan diri dan berkembang kembali menjadi sebesar bola
pingpong.
Operasi pengangkatan kedua kalinya dilakukan dan tiba-tiba masalah
lain muncul. Pasca operasi geliat sel tumor memang tak terdeteksi, tetapi bekas
operasi mengalami infeksi. Di jejas bekas operasi itu bersarang nanah yang tak
tau kemana arah jalan keluar karena kulit kepala telah sembuh dan menutup
sempurna seperti sedia kala.
Ikhtiar meminum herbal pun kulakukan. Akar alang-alang,
bunga kumis kucing, bayam berduri, benalu pohon kopi, umbi pahit beracun dan
beberapa tumbuhan lain yang tak lagi kuingat namanya dikumpulkan dalam satu
belanga, direbus dan diminum sehari tiga kali. Rasa pahitnya bukan kepalang.
Sebulan lamanya air rebusan amat pahit itu menyapa lidahku.
Begitulah awal perkenalan manisku dengan penyakit infeksi
yang etiologinya bahkan membingungkan para ahli bedah. Ada harapan yang
membumbung, penyakit pergi hilang melayang setelah operasi dr. Chan dilakukan. Yah,
Setidaknya tak sampai harus dibelah tulang kepala seperti gambaran dokter
spesialis bedah pertamaku.
Etiologinya adalah…
Sampai di titik ini aku kehilangan kepercayaan diri.
Berkali-kali mantra penyemangat hidup kulafalkan. Tetapi tak banyak membantu.
Meski tak sampai menyalahkan Tuhan, tapi kerap sekali aku menangisi keadaan.
Tangisan yang tanpa air mata dan kesedihan yang tanpa ratapan. Tetapi semua ini
semakin melumerkan keyakinan akan semangatku yang mulai teracuni dan
kepercayaan diriku yang nyaris porak-poranda.
Satu semester telah berlalu semenjak operasi dr. Chan, naas,
infeksi itu mulai kambuh kembali. Kepalaku bernanah tanpa ampun dan tak
memeduli tuan. Bahkan satu semester lebih kutinggalkan co-ass demi fokus dalam
pemulihan kesehatan, tak membuahkan apa-apa. Sia-sia belaka.
Lantas penyebabnya apa hingga bisa kambuh kembali? itupun
masih tetap jadi misteri. Sampai kapan aku harus menanggung penyakit ini?
Bila aku kembali pada dokter bedah pertamaku, ahh, beliau
pasti akan mengatakan ‘tuh kan saya bilang juga apa’. Dan apakah pada akhirnya
aku harus tunduk dengan skenario perawatan dengan pengangkatan tulang kepala
oleh spesialis bedah saraf di RSUDZA. Membayangkannya saja membuat aku bergidik
ngeri. Seperti meja pembantaian pada film psikopat favoritku.
Namun, jika aku harus kembali lagi kepada dr. Chan, jarak,
waktu dan biaya jadi pertimbangan yang membimbangkan. Jangan-jangan dr. Chan
bahkan akan menganjurkan hal yang sama dengan saran dokter bedah pertamaku.
Ahh, tidak-tidak.
Tiba-tiba saja terbayang kembali potret menyedihkan
saudaranya dari temanku yang hidup segan mati tak mau dengan kepala ditumpangi
bekas bedah yang tak kunjung sembuh setelah dilakukan bedah saraf dan pembukaan
sebagian tulang kepala.
Harus begitukah jalan hidupku ini ya Rabbi? Akankah aku hidup
dalam beban orang lain dalam waktu yang lama? Hidup tak berguna, mati pun tak
kunjung tiba.
Kemana hilangnya gairah itu? Dibalik tatapan riang dan mata
cahaya yang kerap kutampilkan dihadapan sanak karib, kerabat dan sahabat ada
pikiran yang nanar dan jiwa yang gerimis.
Bagaimana dengan mantra? Mantra pembangkit semangat saat
terpuruk. Mengapa tak kunyanyikan lagi? Entahlah, aku tetap masih percaya pada
kekuatan mantra itu. Tetapi meski seribu kali kuucap, ia tetap tak kuasa
mengusir batu besar yang kupikul.
Dalam kesulitan dan kesempitan dada yang menekan, satu hari
aku bertemu dengan drg. Rafi. Seorang dosen spesialis kawat gigi yang sedikit
banyak mendengar siaran kabar entah dari siapa tentang penyakitku. Entah angin
apa yang membawanya untuk mau duduk bersamaku, memberikan masukan-masukan yang
kelak jadi obat paling mujarab bagi masalah terbesarku ini.
“Pertama yang ingin saya tanyakan, adakah orang yang tidak
senang denganmu?” Awalnya enggak ngeh
dengan pertanyaan drg. Rafi ini. Tetapi kemudian aku paham, kecurigaannya
karena bisa jadi penyakit ini kiriman
orang lain.
Tapi aku tak punya musuh. Setidaknya itu yang kurasa. Sebisa
mungkin selalu kuhindari pertengkaran dengan siapapun. Tapi mungkin saja, meski
tanpa pertengkaran, orang iri akan mengirimkan jampi-jampinya lewat
buhul-buhul.
Aneka zikir sesuai sunnah nabi diajarkan drg. Rafi selain
dari yang sudah biasa dilakukan . Kucatat dengan seksama. Kucoba amalkan
semampunya. Meskipun seandainya ternyata semua ini bukan karena sihir, tak jadi
masalah. Tidak rugi juga. Bukankah merutinkan zikir dapat melembutkan hati,
mengundang ketenangan dan mendatangkan pahala. Tak ada salahnya kucoba.
“Yang kedua,” ujar dokter Rafi, menarik nafas jeda. Aku menunggu-nunggu
penasaran, “Kamu ada alergi?” Sambungnya.
“Enggak pernah Dok” jawabku yakin.
“Tau darimana?”
“Emm, belum pernah ada reaksi merah-merah atau gatal-gatal
di tubuh saya setelah memakan sesuatu apapun dokter”
“Jadi nanah di kepalamu?” Cecar drg. Rafi
“Apa penyakit saya ini reaksi alergi menurut dokter?”
“Menurut kamu?”
Ahh, hubungan dosen-mahasiswa ini bahkan tetap terasa
disaat-saat aku butuh solusi. Aku masih diminta untuk berfikir mandiri dengan clue yang diberikan. Tak masalah.
Aku menggelengkan kepala tanda tak tahu.
“Saya tidak benar-benar yakin dengan ini ya. Tapi saya
mengira kalau penyakitmu itu bisa saja sebagai sebuah reaksi alergi. Mendengar
penuturanmu, setelah minum antibiotik, infeksi itu sembuh lalu kambuh kembali. Dan
telah pula dilakukan kultur jaringan
untuk mendeteksi jenis bakteri dan jenis antibiotic yang tepat. Harusnya itu sudah
cukup. Kalau masih kambuh, saya curiga, jika ini bukan karena kiriman, bisa
jadi ini adalah reaksi alergi”
“Begitu ya Dok?”
“Coba kali ini kamu ikuti saran saya. Jangan konsumsi ayam
potong. Jangan konsumsi segala jenis seafood.
Jangan konsumsi makanan dan minuman instan. Dan terakhir, jauhi sama sekali masakan
berpenyedap”
“Lalu apa yang saya makan Dok” setengah berfikir bagaimana
menekan selera. Menyadari pertanyaan konyol ini segera kuralat sendiri, “ya tentu
selain yang dokter sebutkan tadi”.
Siapa sangka saran drg. Rafi dalam pertemuan singkat itu adalah cara Allah menjawab doaku yang lirih penuh harap selama ini.
Ajaib!
Hampir sebulan kuhindari segala jenis makanan yang
disarankan drg. Rafi dan infeksi tidak pernah muncul sama sekali. Hahh, Segala
puji hanya milikmu ya Allah. 1000% benar kecurigaan drg. Rafi. Ini adalah
alergi. Tidak ada satupun dokter spesialis yang kutemui menduga alergi.
Sekarang masalah jadi sangat sederhana. Allah uji aku dengan persoalan sederhana. Bukankah jika hanya sekedar alergi dapat diatasi dengan menghindari sumbernya. Tapi Allah ingin melihat seberapa besar usahaku dalam ikhtiar penyembuhan. Masya Allah.
Sekarang masalah jadi sangat sederhana. Allah uji aku dengan persoalan sederhana. Bukankah jika hanya sekedar alergi dapat diatasi dengan menghindari sumbernya. Tapi Allah ingin melihat seberapa besar usahaku dalam ikhtiar penyembuhan. Masya Allah.
Bulan berikutnya aku ingin menguji dari beberapa jenis makanan
yang dilarang drg Rafi seperti ayam potong, seafood, makanan/minuman instan dan
masakan mengandung penyedap, manakah dari itu semua yang menyebabkan alergi. Dan
ternyata penyebabnya adalah masakan yang mengandung penyedap dan segala jenis
makan instan yang mengandung MSG.
Alangkah malangnya sejak tujuh tahun jauh dari orang tua,
aku selalu makan di warung. Dan favoritku adalah masakan padang di dekat kampus.
Ingin kusampaikan pada semua orang, masakan padang, nasi goreng, ayam penyet
dan hampir semua masakan yang dijual mengandung penyedap.
Bolehlah aku menyimpulkan semua ini gara-gara penyedap. Orang
sering menyebutnya micin.
Beberapa waktu lalu aku ngobrol dengan seorang pemilik
gedung yang kusewa. Istrinya tiba-tiba mengidap penyakit kanker di otaknya. Terjadi
setelah seminggu sebelumnya menemani suaminya yang dirawat di rumah sakit
karena lambungnya bermasalah. Selama seminggu itu istrinya selalu makan masakan
warung yang berpenyedap.
Untung kanker dapat diketahui dan diperiksa sejak dini dan
langsung mendapatkan perawatan operasi. Alhamdulillah sembuh. Selama ini sang
istri selalu makan masakan sendiri tanpa penyedap. Hanya dalam waktu seminggu
saja penyedap dapat menjadi salah satu pemicu kanker yang mengerikan.
Mulai sekarang kukobarkan peperangan untuk mengalahkan
kekuatan micin. Sedapnya penyedap.
Semoga kisah ini jadi pelajaran bagi semua.
Silahkan dibagikan jika merasa tulisan ini bermanfaat.
MasyaAllah, sungguh menginspirasi
ReplyDeleteterimakasih nazly, semoga jadi pelajaran bersama
ReplyDeleteAlhamdulillah ini pelajaran bagus...
ReplyDeleteSaya juga sering sakit kepala dan saya curiga juga micin penyebabnya,setidaknya saya juga harus hati2 sekarang mengkonsumsi makanan..
iya, setidaknya menjaga sebelum berdampak jauh
DeleteSaya pernah ikut kelas bersama dokter Tiffauzia Tyasumma Msc (medical doctor, lecturer, Researcher in cardio metabolic nutrition). beliau bilg satu2 nya cara utk sembuh dr penyakit kanker adalah dgn tdk terkena kanker. karena sel kanker iti sangat pintar. tapk kenyataa. nya yg kita lakukan adalah memberi pupuk utk sel kanker melalui pola makan yg buruk.
ReplyDeleteDibuku beliau berjudul Body Revolution disampaikan bagaiman pengaruh makanan terhadap kerusakan sel2 tubuh kita.
3 tahun belakangan saya sudah meninggalkan segala macam junkfood, micin, dan mengolah makanan tanpa minyak, Alhamdulillah teman2 di Banda Aceh dikomunitas sehat saya jg mulai menerapkan masakan no micin, no oil. seminggu sekali mereka tetap 'say hello' dgn makanan2 tdk sehat utk sekedar bernostalgia dgn "mantan makanan".
cerita nya sangat menginspirasi.
izin saya bagikan.
boleh bu, silahkan. terimakasih juga atas infonya. sama-sama kita belajar untuk menekan selera
Deletedan sedikit lebih rajin untuk mengolah masakan sendiri. tanpa penyedap maskan bisa enak kok. daripada menanggung sakit lebih baik menekan selera
such an inspiration.
ReplyDeleteSangat2 menginspirasi.
Izin share ya
semoga info yang kami bagikan bermanfaat terimakasih
DeleteAlhamdulillah
ReplyDelete