Antara Tamparan Sihir dan Kekuatan Micin



Tubuhku tengah berada di ketinggian 36.000 kaki di atas permukaan laut, entah kali keberapa aku merasakan berada di ketinggian ini dalam situasi turbulensi cukup mendebarkan. Dua seat di sebelah kiriku ke arah jendela pesawat diduduki ayah dan ibu mertuaku. 

Sepertinya ini perjalanan pertama kali yang mereka lalui di udara. Terpancar kekhawatiran yang menyeruak dari wajah mereka dengan aroma wajah tegang dan tangan yang mencekik keras lengan kursi. Kulihat mulut mereka merapalkan doa dan zikir sepenuh hati kontras dengan penumpang lain yang riang seolah tak menggubris goncangan pesawat maha kuat yang tengah terjadi. Aku tenggelam dalam zikir dan doa-doa keselamatan.

Beberapa jam kemudian pesawat mendarat di bandara Penang dengan selamat.   

Keesokan harinya kuamati rumah sakit dengan seksama. Aku heran, mereka buka pagi sekali, Saat suasana masih cukup gelap. Kebiasaan yang tidak akan pernah ditemui di negeriku. Pendaftaran dibuka dan antriannya seperti biasa, cukup panjang. 

Pukul 08.00, selesai dengan segala tetek bengek administrasi, mulai kurebahkan tubuh di kursi antrian panjang tepat di depan ruang dr. Chan, spesialis kepala. Lelah menyergap raga. Pikiranku melayang kembali ke Banda Aceh, kepada sosok dokter spesialis bedah yang berulang kali meyakinkanku bahwa infeksi telah menembus batok kepalaku.

Ada harap-harap cemas diagnosanya meleset. Manusiawi sekali rasanya, saat ketakutan akan bayangan kematian itu berulang-ulang menyapa. Bukan sakitnya kematian yang kukhawatirkan, tetapi di lembah mana akan dilemparkan jiwa ini saat babak akhir penentuan nanti. Syurga itu terasa sungguh jauh dari sekedar penglihatan mataku, sedang neraka kengeriannya mulai menjalar ke pucuk-pucuk, tak sanggup dan tak ingin walau hanya sekedar untuk dibayangkan.

“Tak pe lah, tak usah risau, tak sampai menembus tulang” ujar dr. Chan

Terbayang film upin ipin saat mendengar dokter ini bertutur. Tubuhnya yang pendek berkulit putih dan bermata sipit mengonfirmasi bahwa ia adalah keturunan Tionghoa. Serasa ingin meledak bahagia jiwaku saat mendengar keterangan dr. Chan barusan.

“Yang benar dok? Infeksi tidak sampai menembus kepala? Jadi tidak berbahaya? Tidak perlu sampai di angkat dan digergaji tulang kepala saya kan dok?”

Ahh, mulutku nyerocos tak terkontrol demi inginnya mendapati kenyataan penyakit yang telah bersemayam 9 tahun lamanya belum sampai menghancurkan isi kepalaku. Ada gerimis haru dalam dada. Mataku mulai berkaca-kaca. Terimakasih ya Allah, untuk yang kesekian kalinya Engkau sudi kiranya menitipkan nyawa dalam jasadku yang hina ini.

dr. Chan menjelaskan bahwa kendati belum menembus masuk, jaringan infeksi telah merusak sebagian tulang kepala luar. Oleh sebab itu, tetap harus dilakukan prosedur operasi untuk pengambilan jaringan yang telah terinfeksi.

Dengan berbekal anastesi lokal dr. Chan dan tim berjibaku membelai-belai kepalaku dengan pisau tipis, kecil dan tajam. 4 jam lamanya tubuhku rebah pasrah di meja operasi.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat darah mulai mengalir ke telinga, leher dan dagu. Segala zikir dan ayat telah kurapalkan selama proses berlangsung. Wahai Allah, engkaulah yang maha menghidupkan dan mematikan. Ampunilah segala dosa dan kesalahan hamba. Apapun suratan takdir yang kau berikan untukku, ridhailah hidup dan matiku.

Tiga orang berseliweran dan bergantian membayang di pelupuk mataku kala itu. Mereka adalah Ibuku, istriku dan janin bakal anakku yang berumur delapan bulan. Semoga segalanya baik-baik saja.

Ini bukan kali pertama kepalaku ‘diobrak-abrik’. Sebelumnya telah dua kali dilakukan operasi yang sama di lokasi yang sama. Yaitu pengangkatan tumor sebesar biji jengkol. Operasi pertama tidak bersih dan tidak teliti, sel tumor yang bersisa jadi mengamuk dan berkembang lebih agresif. Tak lebih dari sebulan sel itu mulai menggandakan diri dan berkembang kembali menjadi sebesar bola pingpong.

Operasi pengangkatan kedua kalinya dilakukan dan tiba-tiba masalah lain muncul. Pasca operasi geliat sel tumor memang tak terdeteksi, tetapi bekas operasi mengalami infeksi. Di jejas bekas operasi itu bersarang nanah yang tak tau kemana arah jalan keluar karena kulit kepala telah sembuh dan menutup sempurna seperti sedia kala.

Ikhtiar meminum herbal pun kulakukan. Akar alang-alang, bunga kumis kucing, bayam berduri, benalu pohon kopi, umbi pahit beracun dan beberapa tumbuhan lain yang tak lagi kuingat namanya dikumpulkan dalam satu belanga, direbus dan diminum sehari tiga kali. Rasa pahitnya bukan kepalang. Sebulan lamanya air rebusan amat pahit itu menyapa lidahku.

Begitulah awal perkenalan manisku dengan penyakit infeksi yang etiologinya bahkan membingungkan para ahli bedah. Ada harapan yang membumbung, penyakit pergi hilang melayang setelah operasi dr. Chan dilakukan. Yah, Setidaknya tak sampai harus dibelah tulang kepala seperti gambaran dokter spesialis bedah pertamaku.

Etiologinya adalah…          


Sampai di titik ini aku kehilangan kepercayaan diri. Berkali-kali mantra penyemangat hidup kulafalkan. Tetapi tak banyak membantu. Meski tak sampai menyalahkan Tuhan, tapi kerap sekali aku menangisi keadaan. Tangisan yang tanpa air mata dan kesedihan yang tanpa ratapan. Tetapi semua ini semakin melumerkan keyakinan akan semangatku yang mulai teracuni dan kepercayaan diriku yang nyaris porak-poranda.

Satu semester telah berlalu semenjak operasi dr. Chan, naas, infeksi itu mulai kambuh kembali. Kepalaku bernanah tanpa ampun dan tak memeduli tuan. Bahkan satu semester lebih kutinggalkan co-ass demi fokus dalam pemulihan kesehatan, tak membuahkan apa-apa. Sia-sia belaka.

Lantas penyebabnya apa hingga bisa kambuh kembali? itupun masih tetap jadi misteri. Sampai kapan aku harus menanggung penyakit ini?

Bila aku kembali pada dokter bedah pertamaku, ahh, beliau pasti akan mengatakan ‘tuh kan saya bilang juga apa’. Dan apakah pada akhirnya aku harus tunduk dengan skenario perawatan dengan pengangkatan tulang kepala oleh spesialis bedah saraf di RSUDZA. Membayangkannya saja membuat aku bergidik ngeri. Seperti meja pembantaian pada film psikopat favoritku.

Namun, jika aku harus kembali lagi kepada dr. Chan, jarak, waktu dan biaya jadi pertimbangan yang membimbangkan. Jangan-jangan dr. Chan bahkan akan menganjurkan hal yang sama dengan saran dokter bedah pertamaku. Ahh, tidak-tidak.

Tiba-tiba saja terbayang kembali potret menyedihkan saudaranya dari temanku yang hidup segan mati tak mau dengan kepala ditumpangi bekas bedah yang tak kunjung sembuh setelah dilakukan bedah saraf dan pembukaan sebagian tulang kepala.

Harus begitukah jalan hidupku ini ya Rabbi? Akankah aku hidup dalam beban orang lain dalam waktu yang lama? Hidup tak berguna, mati pun tak kunjung tiba.

Kemana hilangnya gairah itu? Dibalik tatapan riang dan mata cahaya yang kerap kutampilkan dihadapan sanak karib, kerabat dan sahabat ada pikiran yang nanar dan jiwa yang gerimis.

Bagaimana dengan mantra? Mantra pembangkit semangat saat terpuruk. Mengapa tak kunyanyikan lagi? Entahlah, aku tetap masih percaya pada kekuatan mantra itu. Tetapi meski seribu kali kuucap, ia tetap tak kuasa mengusir batu besar yang kupikul. 

Dalam kesulitan dan kesempitan dada yang menekan, satu hari aku bertemu dengan drg. Rafi. Seorang dosen spesialis kawat gigi yang sedikit banyak mendengar siaran kabar entah dari siapa tentang penyakitku. Entah angin apa yang membawanya untuk mau duduk bersamaku, memberikan masukan-masukan yang kelak jadi obat paling mujarab bagi masalah terbesarku ini.

“Pertama yang ingin saya tanyakan, adakah orang yang tidak senang denganmu?” Awalnya enggak ngeh dengan pertanyaan drg. Rafi ini. Tetapi kemudian aku paham, kecurigaannya karena  bisa jadi penyakit ini kiriman orang lain.

Tapi aku tak punya musuh. Setidaknya itu yang kurasa. Sebisa mungkin selalu kuhindari pertengkaran dengan siapapun. Tapi mungkin saja, meski tanpa pertengkaran, orang iri akan mengirimkan jampi-jampinya lewat buhul-buhul.

Aneka zikir sesuai sunnah nabi diajarkan drg. Rafi selain dari yang sudah biasa dilakukan . Kucatat dengan seksama. Kucoba amalkan semampunya. Meskipun seandainya ternyata semua ini bukan karena sihir, tak jadi masalah. Tidak rugi juga. Bukankah merutinkan zikir dapat melembutkan hati, mengundang ketenangan dan mendatangkan pahala. Tak ada salahnya kucoba.

“Yang kedua,” ujar dokter Rafi, menarik nafas jeda. Aku menunggu-nunggu penasaran, “Kamu ada alergi?” Sambungnya.

“Enggak pernah Dok” jawabku yakin.

“Tau darimana?”

“Emm, belum pernah ada reaksi merah-merah atau gatal-gatal di tubuh saya setelah memakan sesuatu apapun dokter”

“Jadi nanah di kepalamu?” Cecar drg. Rafi

“Apa penyakit saya ini reaksi alergi menurut dokter?”

“Menurut kamu?”

Ahh, hubungan dosen-mahasiswa ini bahkan tetap terasa disaat-saat aku butuh solusi. Aku masih diminta untuk berfikir mandiri dengan clue yang diberikan. Tak masalah.

Aku menggelengkan kepala tanda tak tahu.

“Saya tidak benar-benar yakin dengan ini ya. Tapi saya mengira kalau penyakitmu itu bisa saja sebagai sebuah reaksi alergi. Mendengar penuturanmu, setelah minum antibiotik, infeksi itu sembuh lalu kambuh kembali. Dan telah pula  dilakukan kultur jaringan untuk mendeteksi jenis bakteri dan jenis antibiotic yang tepat. Harusnya itu sudah cukup. Kalau masih kambuh, saya curiga, jika ini bukan karena kiriman, bisa jadi ini adalah reaksi alergi”

“Begitu ya Dok?”

“Coba kali ini kamu ikuti saran saya. Jangan konsumsi ayam potong. Jangan konsumsi segala jenis seafood. Jangan konsumsi makanan dan minuman instan. Dan terakhir, jauhi sama sekali masakan berpenyedap”

“Lalu apa yang saya makan Dok” setengah berfikir bagaimana menekan selera. Menyadari pertanyaan konyol ini segera kuralat sendiri, “ya tentu selain yang dokter sebutkan tadi”.

Siapa sangka saran drg. Rafi dalam pertemuan singkat itu adalah cara Allah menjawab doaku yang lirih penuh harap selama ini.

Ajaib!

Hampir sebulan kuhindari segala jenis makanan yang disarankan drg. Rafi dan infeksi tidak pernah muncul sama sekali. Hahh, Segala puji hanya milikmu ya Allah. 1000% benar kecurigaan drg. Rafi. Ini adalah alergi. Tidak ada satupun dokter spesialis yang kutemui menduga alergi. 

Sekarang masalah jadi sangat sederhana. Allah uji aku dengan persoalan sederhana. Bukankah jika hanya sekedar alergi dapat diatasi dengan menghindari sumbernya. Tapi Allah ingin melihat seberapa besar usahaku dalam ikhtiar penyembuhan. Masya Allah.

Bulan berikutnya aku ingin menguji dari beberapa jenis makanan yang dilarang drg Rafi seperti ayam potong, seafood, makanan/minuman instan dan masakan mengandung penyedap, manakah dari itu semua yang menyebabkan alergi. Dan ternyata penyebabnya adalah masakan yang mengandung penyedap dan segala jenis makan instan yang mengandung MSG.

Alangkah malangnya sejak tujuh tahun jauh dari orang tua, aku selalu makan di warung. Dan favoritku adalah masakan padang di dekat kampus. Ingin kusampaikan pada semua orang, masakan padang, nasi goreng, ayam penyet dan hampir semua masakan yang dijual mengandung penyedap.

Bolehlah aku menyimpulkan semua ini gara-gara penyedap. Orang sering menyebutnya micin.

Beberapa waktu lalu aku ngobrol dengan seorang pemilik gedung yang kusewa. Istrinya tiba-tiba mengidap penyakit kanker di otaknya. Terjadi setelah seminggu sebelumnya menemani suaminya yang dirawat di rumah sakit karena lambungnya bermasalah. Selama seminggu itu istrinya selalu makan masakan warung yang berpenyedap.

Untung kanker dapat diketahui dan diperiksa sejak dini dan langsung mendapatkan perawatan operasi. Alhamdulillah sembuh. Selama ini sang istri selalu makan masakan sendiri tanpa penyedap. Hanya dalam waktu seminggu saja penyedap dapat menjadi salah satu pemicu kanker yang mengerikan.

Mulai sekarang kukobarkan peperangan untuk mengalahkan kekuatan micin. Sedapnya penyedap.

Semoga kisah ini jadi pelajaran bagi semua.

Silahkan dibagikan jika merasa tulisan ini bermanfaat.     


9 Responses to "Antara Tamparan Sihir dan Kekuatan Micin"

  1. MasyaAllah, sungguh menginspirasi

    ReplyDelete
  2. terimakasih nazly, semoga jadi pelajaran bersama

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ini pelajaran bagus...
    Saya juga sering sakit kepala dan saya curiga juga micin penyebabnya,setidaknya saya juga harus hati2 sekarang mengkonsumsi makanan..

    ReplyDelete
  4. Saya pernah ikut kelas bersama dokter Tiffauzia Tyasumma Msc (medical doctor, lecturer, Researcher in cardio metabolic nutrition). beliau bilg satu2 nya cara utk sembuh dr penyakit kanker adalah dgn tdk terkena kanker. karena sel kanker iti sangat pintar. tapk kenyataa. nya yg kita lakukan adalah memberi pupuk utk sel kanker melalui pola makan yg buruk.

    Dibuku beliau berjudul Body Revolution disampaikan bagaiman pengaruh makanan terhadap kerusakan sel2 tubuh kita.

    3 tahun belakangan saya sudah meninggalkan segala macam junkfood, micin, dan mengolah makanan tanpa minyak, Alhamdulillah teman2 di Banda Aceh dikomunitas sehat saya jg mulai menerapkan masakan no micin, no oil. seminggu sekali mereka tetap 'say hello' dgn makanan2 tdk sehat utk sekedar bernostalgia dgn "mantan makanan".

    cerita nya sangat menginspirasi.
    izin saya bagikan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. boleh bu, silahkan. terimakasih juga atas infonya. sama-sama kita belajar untuk menekan selera

      dan sedikit lebih rajin untuk mengolah masakan sendiri. tanpa penyedap maskan bisa enak kok. daripada menanggung sakit lebih baik menekan selera

      Delete
  5. such an inspiration.
    Sangat2 menginspirasi.
    Izin share ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. semoga info yang kami bagikan bermanfaat terimakasih

      Delete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel