Aktivis Dakwah Multitalenta

           
Bahagianya menjadi aktivis dakwah, serba tau dan serba mau, serba bisa dan serba terpaksa. Saya teringat sebuah kalimat dalam sebuah majalah “masalahnya adalah bukan karna kita bisa atau tidak bisa, tapi apakah kita mau atau tidak mau?”. Bisa atau tidak bisa itu bukanlah menjadi alasan untuk kita tidak bergerak, karena setiap orang akan menjadi bisa jika dia mau. Nah, sekarang masalahnya MAU tidak kita menjalankannya?
            “Wah, sekarang sudah menjadi tukang bang ya?” tanya seorang adik leting dengan senyum mengembang mengamati gaweanku memasang tiang pagar yang sejak tadi kunikmati.
            “Salut kali la aku sama abang ni, semua bisa dilakukannya. Jadi pembawa acara bisa, jadi tukang bisa, Nasyid bisa, dekor ruangan bisa, konseptor acara bisa, buat poster desain grafis  bisa, nulis bisa, masak bisa, jadi sales juga bisa, bernegosiasi mantap, retorika oke, bersihin kamar mandi mushalla mahir (he he), cerita soal agama mantep, politik nyambung juga, isu internasional respek, akademik gak jelek-jelek amat (meski banyak juga yang berprestasi -ed). Baik hati, santun, persaudaraan  sangat erat. Aduhhh... apasih rahasianya?” sambung si adik leting yang keren beken itu.
            Aku tersenyum mendengarnya. Juga sebenarnya aku  baru tersadar ternyata aku kini sudah jauh berbeda dari 5 tahun yang lalu. Dulu maju kedepan kelas saja setengah mati sampai akhirnya keringat dingin membanjiri. Semua bermula dari lingkaran kecil. Kupikir tak Cuma aku yang bernasib malang dahulunya, aku yakin para aktivis dakwah tak serta merta dilahirkan menjadi macan podium. Sepertinya terkesan berlebihan pujian sang adik itu, tapi itu adalah ungkapan jujur hatinya. Begitulah memang seharusnya aktivis dakwah. Bukanlah seorang aktivis dakwah dia yang hidupnya berselubung keluh kesah, ngambek, mudah sakit hati (mengingat ini seorang murabbi pernah berkata “satu yang harus melekat dalam dirimu di jalan dakwah ini jangan mudah sakit hati), manja (karna dakwah tak bisa dipikul oleh orang-orang yang manja), dan senantiasa diliputi kemaksiatan.
            “Halaqah...” jawabku singkat membuat sejenak keningnya berkerut membentuk tanda tanya.
            Pesan Yusuf Al-Qhardawi senantiasa membayang lekat di benak ini. katanya “Tarbiyyah itu bukan segala-galanya, tapi segala-galanya bisa dicapai dengan tarbiyyah”. Kalimat singkat yang tetap membuatku bertahan insyaAllah hingga nyawa tercerabut dari jasad ini senantiasa bersenandung ditiap denyut darahku.
            Aktivis dakwah itu memang selalu memiliki keunikan tersendiri, serba bisa dan serba tau. Semua itu berawal dari terpaksa meski lebih tepatnya dipaksa. Maka betul pula rasanya guyonan salah seorang sahabat “Alah bisa karna terpaksa”. Pernah pula seorang ustadz yang kukenal tawadhu berujar “Allahumma... Paksain!” saat mengajarkan kami sebuah doa, serta merta peserta kajian tertawa. Namun, aku berpikir benar juga doa itu. Maka mari kita paksakan tanpa mengurangi rasa ikhlas diri kita untuk berbuat yang terbaik untuk agama dan bangsa ini.
Allahuakbar!!!
Limpok, 31 Mei 2011
Dalam balutan subuh yang sunyi

0 Response to "Aktivis Dakwah Multitalenta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel