Dilema Ikhwan Abad Modern
Tuesday, May 22, 2012
Add Comment
“Subhanallah... Dia cantik ya” aku hanya tersenyum menanggapi ucapan seorang ikhwan. Tapi ada yang tertahan didalam batinku. “Astagfirullah...”. Seorang akhwat dengan jilbab yang menjulur panjang berlalu didepan kami. Sejenak aku berfikir, apa bedanya antara ikhwan dengan lelaki kebanyakan. Yah, aku yakin Ia tidak akan berucap hal yang sama jika seandainya yang berlalu tadi adalah wanita kebanyakan dengan jilbab seadanya dan baju sempit.
Aku hanya berusaha untuk menganggap ini sebuah
fitrah dan lumrah saja sampai suatu ketika ada beberapa Ikhwan yang terdengar
telah melepaskan baju ke-ikhwan-annya. Bagai tersengat lebah rasanya mendengar
itu. Lagi-lagi aku mencoba berusaha untuk melihat ini sebagai suatu proses yang
niscaya yang akan menghiasi perjalanan dakwah ini. Tapi semakin lama ini
semakin merebak dan menjangkiti hampir setiap ikhwan. Semoga bukan termasuk aku
dan kita. Na’uzubillah.
Aku mencoba
mendiagnosa penyakit yang menurutku lebih berbahaya dari wabah flu burung atau
flu babi. Usut punya usut ternyata permasalahan utamanya adalah virus bernama
“Cinta”. Sebenarnya aku merasa bosan membahas ini. Mengapa harus selalu cinta?.
“Iya akh, antum enak
bilang begitu. Antum belum pernah merasakannya sih... berat akhi!” ujar seorang
ikhwan menanggapi usulanku untuk menikah saja. Heh, apakah aku ini bukan lelaki
normal. Aku juga punya perasaan cinta layaknya yang kamu dan mereka rasakan.
“Tapikan cinta antum tak setinggi cinta ana padanya” elaknya dengan yakin.
Siapakah yang mampu mengukur kedalaman cinta seseorang? Siapakah yang tau
seberapa murni cinta yang tengah melandanya? Tak ada ku kira, kecuali sang
pemilik cinta. Lantas bisakah dikatakan bahwa cintaku dangkal dan tak murni. Aku
juga punya naluri. Tapi aku hanya ingin mencoba seperti Ali yang kuat untuk
menahan ledakan-ledakan cintanya pada fatimah hingga allah menetapkan mereka
memadu cinta di jalanNya.
Melihat fenomena
Ikhwan Abad modern ini. Aku jadi mengerti kenapa 1 per 1 mereka permisi dari
jalan indah bernama “jalan Dakwah” ini. Ternyata aku dan kita belum mampu untuk
memahami keberadaan kita di jama’ah ini untuk apa? Untuk senang-senang atau
senda gurau sajakah? Atau hanya untuk bermanja ria?. Aku dan kita ternyata
terlalu malas membaca buku dan menghadiri kajian. Lantas bagaimana bisa hati
ini terisi dan menjadi luas. Seorang murabbi pernah berkata, Osteoporosisnya
nilai-nilai ke-ikhwan-an ini disebabkan karena terlalu seringnya membaca novel
maupun buku fiksi dan film-film melankolis. Maka mulai sejak itu aku tak pernah
membaca buku atau novel yang didepannya tertulis dengan jelas kata “CINTA”(meski
terkadang saat perlu juga membaca). Kuganti bacaanku dengan bacaan bernafaskan
perjuangan.
Ternyata benar.
Akibat dari bermanja ria, para ikhwan seolah kehilangan taring dan cakarnya.
Dihadapkan pada permasalahan kecil saja mengeluh. Sedikit sedikit mengeluh.
Sedikit-sedikit ngambek. Sedikit-sedikit bermain perasaan. Merasa kalau dakwah
yang membutuhkan Dia, padahal sesungguhnya dialah yang membutuhkan dakwah ini.
Kalau seperti ini kata seorang ikhwan lain “pake rok sajalah”. Fisik yang kuat
tidak menjamin ia banyak berperan dalam dakwah. Dan tidak bisa dipungkiri juga
ikhwan yang fisiknya kurus, ngomongnya gagap, berfikirnya lambat tidak punya
peran dan kontribusi dalam dakwah.
Jadi apa yang mesti
kita lakukan menghadapi ikhwan-ikhwan melankolis( semoga aku dan kita tidak
termasuk dalam bagiannya)? Atau bagaimana caranya agar kita tak menjadi ikhwan
manja?. Jawabannya hanya ada pada diri kita masing-masing. Sebenarnya semua
solusi ada dalam diri kita. Karena setiap kita punya cara tersendiri untuk
menyelesaikan masalah. Akan tetapi nafsu yang begitu tebal kadang-kadang
memaksa kita untuk mengungkapkan seribu alasan untuk melegalkan kemaksiatan
kita.
Jikapun kita tak
berada pada barisan ini, itu takkan membuat dakwah ini redup. Karna akan tetap
ada generasi yang akan menggantikan yang mereka mencintai Allah dan Allah
mencitai mereka. Masalahnya apakah kita yang akan tergantikan? Saat orang-orang
berbaris pada barisan rapi menuju syurga, kita hanya bisa gigit jari dengan
bermandikan makksiat yang tak pernah surut. Bila terjadi seperti ini kata yang
paling tepat seperti yang diucapkan seorang ikhwah, “Makan Tuh Cinta!” (agak
sedikit sadis ya?).
Bila aku melihat banyaknya
kader yang mengikrarkan mundur dari amanah. Kata-kata Ust Rahmat Abdullah
menjadi senandungku setiap waktu “ jika semua menghindar, biarlah kutanggung
amanah ini seluruh atau sebagiannya saja”.
Terik matahari tak
surutkan langkahmu
Deru hujan badai tak
lunturkan azzammu
Raga kan terluka tak
jerihkan nyalimu
Fatamorgana dunia tak
silaukan pandangmu
Duhai pewaris negri
duka pana tak berarti
Syurga kekal nan
abadi balasan ikhlas di hati.....
(Sang Murabbi:
Izzatul Islam)
Kembali semangat Akhi! Bersama-sama kita mengukuhkan bangunan dakwah ini...
El faqera Ilallah.
DC Habibillah
0 Response to "Dilema Ikhwan Abad Modern"
Post a Comment