Dilema Ikhwan Abad Modern

               
“Subhanallah... Dia cantik ya” aku hanya tersenyum menanggapi ucapan seorang ikhwan. Tapi ada yang tertahan didalam batinku. “Astagfirullah...”. Seorang akhwat dengan jilbab yang menjulur panjang berlalu didepan kami. Sejenak aku berfikir, apa bedanya antara ikhwan dengan lelaki kebanyakan. Yah, aku yakin Ia tidak akan berucap hal yang sama jika seandainya yang berlalu tadi adalah wanita kebanyakan dengan jilbab seadanya dan baju sempit.
 Aku hanya berusaha untuk menganggap ini sebuah fitrah dan lumrah saja sampai suatu ketika ada beberapa Ikhwan yang terdengar telah melepaskan baju ke-ikhwan-annya. Bagai tersengat lebah rasanya mendengar itu. Lagi-lagi aku mencoba berusaha untuk melihat ini sebagai suatu proses yang niscaya yang akan menghiasi perjalanan dakwah ini. Tapi semakin lama ini semakin merebak dan menjangkiti hampir setiap ikhwan. Semoga bukan termasuk aku dan kita. Na’uzubillah.
Aku mencoba mendiagnosa penyakit yang menurutku lebih berbahaya dari wabah flu burung atau flu babi. Usut punya usut ternyata permasalahan utamanya adalah virus bernama “Cinta”. Sebenarnya aku merasa bosan membahas ini. Mengapa harus selalu cinta?.
“Iya akh, antum enak bilang begitu. Antum belum pernah merasakannya sih... berat akhi!” ujar seorang ikhwan menanggapi usulanku untuk menikah saja. Heh, apakah aku ini bukan lelaki normal. Aku juga punya perasaan cinta layaknya yang kamu dan mereka rasakan. “Tapikan cinta antum tak setinggi cinta ana padanya” elaknya dengan yakin. Siapakah yang mampu mengukur kedalaman cinta seseorang? Siapakah yang tau seberapa murni cinta yang tengah melandanya? Tak ada ku kira, kecuali sang pemilik cinta. Lantas bisakah dikatakan bahwa cintaku dangkal dan tak murni. Aku juga punya naluri. Tapi aku hanya ingin mencoba seperti Ali yang kuat untuk menahan ledakan-ledakan cintanya pada fatimah hingga allah menetapkan mereka memadu cinta di jalanNya.
Melihat fenomena Ikhwan Abad modern ini. Aku jadi mengerti kenapa 1 per 1 mereka permisi dari jalan indah bernama “jalan Dakwah” ini. Ternyata aku dan kita belum mampu untuk memahami keberadaan kita di jama’ah ini untuk apa? Untuk senang-senang atau senda gurau sajakah? Atau hanya untuk bermanja ria?. Aku dan kita ternyata terlalu malas membaca buku dan menghadiri kajian. Lantas bagaimana bisa hati ini terisi dan menjadi luas. Seorang murabbi pernah berkata, Osteoporosisnya nilai-nilai ke-ikhwan-an ini disebabkan karena terlalu seringnya membaca novel maupun buku fiksi dan film-film melankolis. Maka mulai sejak itu aku tak pernah membaca buku atau novel yang didepannya tertulis dengan jelas kata “CINTA”(meski terkadang saat perlu juga membaca). Kuganti bacaanku dengan bacaan bernafaskan perjuangan.
Ternyata benar. Akibat dari bermanja ria, para ikhwan seolah kehilangan taring dan cakarnya. Dihadapkan pada permasalahan kecil saja mengeluh. Sedikit sedikit mengeluh. Sedikit-sedikit ngambek. Sedikit-sedikit bermain perasaan. Merasa kalau dakwah yang membutuhkan Dia, padahal sesungguhnya dialah yang membutuhkan dakwah ini. Kalau seperti ini kata seorang ikhwan lain “pake rok sajalah”. Fisik yang kuat tidak menjamin ia banyak berperan dalam dakwah. Dan tidak bisa dipungkiri juga ikhwan yang fisiknya kurus, ngomongnya gagap, berfikirnya lambat tidak punya peran dan kontribusi dalam dakwah.
Jadi apa yang mesti kita lakukan menghadapi ikhwan-ikhwan melankolis( semoga aku dan kita tidak termasuk dalam bagiannya)? Atau bagaimana caranya agar kita tak menjadi ikhwan manja?. Jawabannya hanya ada pada diri kita masing-masing. Sebenarnya semua solusi ada dalam diri kita. Karena setiap kita punya cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah. Akan tetapi nafsu yang begitu tebal kadang-kadang memaksa kita untuk mengungkapkan seribu alasan untuk melegalkan kemaksiatan kita.
Jikapun kita tak berada pada barisan ini, itu takkan membuat dakwah ini redup. Karna akan tetap ada generasi yang akan menggantikan yang mereka mencintai Allah dan Allah mencitai mereka. Masalahnya apakah kita yang akan tergantikan? Saat orang-orang berbaris pada barisan rapi menuju syurga, kita hanya bisa gigit jari dengan bermandikan makksiat yang tak pernah surut. Bila terjadi seperti ini kata yang paling tepat seperti yang diucapkan seorang ikhwah, “Makan Tuh Cinta!” (agak sedikit sadis ya?).
Bila aku melihat banyaknya kader yang mengikrarkan mundur dari amanah. Kata-kata Ust Rahmat Abdullah menjadi senandungku setiap waktu “ jika semua menghindar, biarlah kutanggung amanah ini seluruh atau sebagiannya saja”. 
Terik matahari tak surutkan langkahmu
Deru hujan badai tak lunturkan azzammu
Raga kan terluka tak jerihkan nyalimu
Fatamorgana dunia tak silaukan pandangmu
Duhai pewaris negri duka pana tak berarti
Syurga kekal nan abadi balasan ikhlas di hati.....
(Sang Murabbi: Izzatul Islam)

Kembali semangat Akhi! Bersama-sama kita mengukuhkan bangunan dakwah ini...
El faqera Ilallah.
DC Habibillah

0 Response to "Dilema Ikhwan Abad Modern"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel