Samudera Perasaan
Tuesday, July 8, 2014
Add Comment
Suasana hati
kadang memang berubah sesuai dengan iramanya. Mumudar kadang pula segar.
Memahaminya juga merupakan seni tersendiri. Tak mudah dan tidak pula terlalu
jelimet sebenarnya. Hanya saja membutuhkan sabar yang menggunung dan damai yang
mengendap. Tak sekedar berkata ‘saya
ikhlas, insyaallah’ tanpa dibarengi dengan pemantapan di dalam hati.
Letaknya
kini justru disutu. Dimana sesungguhnya kita benar-benar menghargai perasaan
orang lain. Kita sangat takut menyakiti perasaannya. Rasanya biarlah perasaan
ini terkorbankan perih, pedih dan kadang bagai tersayat-sayat demi menjaga
jiwanya yang lembut bagai kabut.
Kita
memang tidak dicipta setegas umar. Tak pula sebijak abu bakar. Hanya berharap
menjadi sekeping serpihan dari keterpukauan pribadi-pribadi seindah para
sahabat. Hati ini kadang tersentak diam melihat sikap yang kadang terpaksa
mengurut dada. Lalu biarlah itu berlalu bersama angin. “Usah kau kenang lagi”
begitulah sebuah lagu jadul berdendang. Sakitnya hati bukan karena disebabkan
oleh sebegitu besar dan tajamnya sayatan saudara kita pada kita, tapi oleh
karena kata-kata kita yang menggores dan tak bisa termaafkan olehnya.
Sesungguhnya luka itu adalah karena luka yang ada pada saudara kita akibat
lidah yang meliuk tanpa kendali lantas luka itu tak terhapus. Tidak cukup
dengan kata “ma’af”.
Benarlah
Ibnul Qayyim dalam sebuah kitabnya “Bahaya Lisan”, mengajarkan pada kita agar
senantiasa yang keluar dari lisan kita merupakan kebenaran, kebaikan, berkualitas
dan mendamaikan. Beberapa orang telah kutanyai tentang sosok sahabat yang ia
dambakan. Hampir semua menjawab serupa. “
yang saya sukai dari seseorang adalah dia tidak sombong, tidak suka meremehkan
orang lain, menganggap bahwa kita ini ada dan juga memberikan kontribusi, sopan
santun dan lemah lembut serta selalu perhatian”. Hampir semua dari mereka
tidak suka pada sosok orang
yang sok, bicaranya banyak dan tinggi, merasa diri paling benar.
Nah,
lantas jika semua orang mengharapkan sebuah sikap santun dan lemah lembut
(tidak pula meninggalkan sisi ketegasan), tenang dan merunduk (tidak tinggi
hati), mengapa kita tak segera mentransformasikan pribadi kita menjadi pribadi
yang menawan itu. Bukankah harta yang paling berharga dalam diri kita adalah
sahabat. Bagiku, kehilangan sahabat sedihnya melebihi sedih seorang musafir
yang kehilangan bekal dan hartanya di tengah padang pasir yang tandus tanpa
air.
Janganlah selalu mengharapkan orang lain
Harus mengerti akan perasaanmu,
walaupun ia adalah sahabat karibmu sendiri.
Karna perasaan adalah bahasa hati
yang dapat berubah disetiap waktu
Hari ini ia adalah orang yang sangat
mengerti akan perasaan hatimu
Mungkin esok ia adalah orang yang
paling tidak memahamimu.
Janganlah memaksa karna saudaramu
juga adalah... seorang manusia biasa
(Maidany)
Moga nasyid ini mampu menyadarkan kita bahwa
perasan adalah Mahkota, jangan merusaknya.
0 Response to "Samudera Perasaan"
Post a Comment