Menemukan Cinta (Part 1): Memilih Telaga
Saturday, October 29, 2016
4 Comments
Cepologis.com - Tiba-tiba ada yang
membuatku terhenyak kaget, saat seorang wanita duduk di sisiku. Dekat dan
tanpa jarak. Jemarinya menggenggam tanganku, hangat. Sulit kutampik betapa
bahagianya saat itu. Ada perasaan debar yang memburu di dada, pun jua sedikit
menyeruak muncul kekhawatiranku, bolehkah aku begini? Sebab aku setengah tak
percaya. Ternyata wanita anggun yang duduk di sampingku itu, dialah istriku kini.
Bisik-Bisik Berisik
Perjalanan proses pernikahanku tak banyak diketahui. Tapi hampir semua sahabat, handai taulan mulai merespons saat kabar pernikahanku mampir di telinga. Bukan ingin berbangga diri, tapi meski sering daku merasa siapalah diri ini, tetap juga kabar beserta bumbu-bumbu tak sedap berseliweran di luar sana. Tentang berbagai hal. Pilihan ‘bodohku’ menikah saat masih co-ass. Tentang sosok yang menjadi calon pengantinku, pun taaruf jenis apa yang kugunakan.
Di batas usia mudaku,
seperempat abad kini. Tak lagi sebenarnya bisa dikatakan pernikahan dini. Tapi
beberapa orang menilai terlalu cepat. Adalah hak siapapun berkata apapun
sekehendak hatinya. Dan hidup berdasar atas apa yang orang katakan tentang
dirimu akan membuatmu jengah dan susah. Coba rasakanlah!
Bila kutuliskan aksara
demi aksara, bukan berarti menunjukkan betapa pentingnya tulisan yang kuurai
panjang lebar ini. Tetapi adalah kewajibanku meluruskan yang bengkok, menyapu
awan gelap, menyingkirkan syakwasangka, mengunci rapat ghibah dan membendung
bisik-bisik berisik terlontar dari bibir yang tak lagi jelas tuannya siapa.
Membicarakan mengenai
pernikahan seseorang dan segala tetek bengeknya memang mengasikkan. Begitu juga aku. Tanpa ingin kuputihkan diriku dari perkara nikmatnya bisik-bisik. Tapi
sepenuh kuasa kucoba mengekangnya. Memang
tak ada yang bisa terbebas darinya. Itu sebabnya tayangan yang mengakomodir
hobi jualan bisik-bisik ini amat laku di layar kaca. Sekecil apapun usaha kita,
tetap penting untuk memperingan bobot dan kuantitas bisik-bisik orang banyak.
Tulisan ini hanya untuk itu. Sebelum
segalanya mulai terkondensasi dan apalagi terkristalisasi.
Awal Pertemuan
Aku mulai mengenalnya sejak maret tahun 2014, di awal semester genap. Gadis bernama Ira dititipkan ayahnya padaku untuk dibantu mencarikan kos-kosan. Ayah Ira yang juga guru Bahasa Inggrisku kala sekolah di Aliyah dahulu tak tahu mesti meminta tolong pada siapa. Serta merta Ia meminta tolong padaku. Sebab pun hubungan kami sebagai guru-siswa amatlah dekat. Selain itu juga, 5 tahun lamanya masa studiku di Unsyiah dianggap cukup mahir dan mumpuni menguasai lapangan di lingkungan kampus. Demi patuhku padanya, kubantu Ira berkeliling mencari kos-kosan yang layak di seputaran darussalam. Tentu bukan hanya kami berdua. Tapi kuajak teman lain sehingga tak berkesan ikhtilat.
Sewaktu itu, tak ada
hal yang berhubungan dengan ketertarikan perasaan saat jumpa kali pertama dengannya.
Bahkan saat itupun aku tak benar-benar tau nama panjangnya. Terpikir untuk
melamar? Tentu saja tidak. Aku tidak peduli. Seperti juga selama ini kepada
setiap gadis yang kutemui aku tak pernah peduli. Sebab tak pernah ada ruang
cinta yang kutumbuhkan di dalam dadaku. Bagiku, Ira tak lebih dari seorang anak
dari guruku. Tak ada hal spesial yang kusenangi selain dari caranya berbicara
yang sopan dan jilbab lebarnya. Hampir rata-rata para akhwat sopan dan
berjilbab lebar. Setidaknya begitulah kesan pertamaku.
Meski aku dan ayahnya
cukup dekat sebagai hubungan siswa-guru. Tapi sekalipun aku tak pernah bertemu
dengan Ira. Namanya saja aku tak tahu, apalagi wajahnya. Meskipun hanya sekedar
lewat foto di dunia maya. Dahulu aku hanya mendengar selentingan para lelaki
membicarakan betapa spesialnya anak guruku ini. Yah, apalagi kalau bukan
pembicaraan mengenai parasnya yang katanya menarik. Pedulikah aku? Sekali lagi,
aku tak peduli.
Waktu berputar. Tiga
tahun sudah berlalu dari semenjak Ira baru pertama kali kukenal. Sejauh itu tak
ada lagi komunikasi yang terhubung. Tak ada basa basi sekedar tanya kabar. Atau
pura-pura empati dengan berkirim hadiah.
Tanya Siapa
Di penghujung usia mudaku. Aku mulai gelisah. Meski sejak SMA dahulu sudah kutulis cita-cita menikah pada usia tertentu. Tapi ternyata cukup jauh meleset. Aku harus sadar kuliah di kedokteran gigi membuatku harus menerima kenyataan sulitnya menikah sesuai target.
Di seperempat abad
usiaku, tekadku, apapun yang terjadi, aku harus menikah. Tidak boleh lebih dari
25 tahun. Doaku agar dapat dipertemukan dengan jodoh pada akhir tahun ini.
Paling realistis memang akhir tahun ini. Sebab, secara finansial, aku harus ekstra
mengumpulkan pundi-pundi mahar serta tetek bengeknya ditengah-tengah aktivitas
co-ass yang banyak menyedot isi kantong.
Masalahnya, dengan
siapa aku akan menikah? Siapakah wanita yang mau menikah dengan pemuda yang
tidak mapan sepertiku? Dan jika ada wanita yang mau, apakah akupun mau
dengannya. Janji Allah itu pasti. Doa dan bertawakal berkelindan dalam dada.
Tak ada persiapan
berlebih untuk mencari siapa sosok yang cocok untuk dijadikan istri. Aku tidak
pernah berpikir untuk itu. Tugasku sekarang hanyalah bagaimana membuat diri menjadi
pria bertanggungjawab sembari menunggu hari-hari di penghujung tahun 2016.
Semoga Tuhan berikan keajaiban seorang istri shalihah jadi permaisuri di
hatiku.
Beberapa wanita yang
kukenal hilir mudik dalam benak. Mereka memiliki banyak keutamaan. Sialnya
malah aku kini yang jadi minder. Apakah mereka itu mau dengan pemuda sepertiku.
Beberapa orang menawarkan sahabatnya, ada pula yang menawarkan binaannya, pun
ada pula yang diam-diam memberikan perhatian khusus dengan mencoba chating
denganku.
Tidak mudah mencari
pendamping yang cocok. Aku harus memilih. Pastinya aku tidak ingin yang asal
ada. Harus jelas segalanya. Siapa orangnya, bagaimana perangainya, siapa
keluarganya, bagaimana agamanya, plus
adakah sebuah getaran sebagai alasan mengapa kita merasa nyaman
dengannya. Semua ini bukan perkara yang mudah. Apalagi bagiku. Orang yang tak
pernah sekalipun punya pengalaman cinta sejak dahulu.
Sinyal
Semua bermula saat aku pulang kampung untuk mengurusi keperluan rujuk kesehatanku pada akhir tahun 2015. Waktu itu aku diminta untuk mengisi semacam acara motivasi di MAN Subulussalam. Sekolah almamaterku dahulu.
Tetiba dalam sebuah
perbincangan cukup hangat dengan Pak Ahmad (ayahnya Ira) terselip pembahasan
tentang anak gadisnya. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kudengar dari lisan
Pak Ahmad selama ini. Sepertinya ia cukup bergairah menceritakan anak gadisnya
yang tengah berkuliah akhir semester 5 di Unsyiah.
Biasanya tema
pembicaraan kami tak pernah jauh dari perkara agama, ibadah dan aktivitas
pemuda muslim. Pak Ahmad sangat mengapresiasi anak-anak muda yang punya
semangat untuk membangun agamanya. Biasanya kami berjumpa di Mesjid Taqwa Muhammadiyah.
Tak jarang saat berpapasan ia akan menarik lenganku, ‘memaksa’ untuk berlama-lama
bercerita tentang Islam dan segala persoalan yang berkaitan dengannya. Pak
Ahmad memang begitu. Bukan saja kepadaku. Tapi kepada semua pemuda yang dekat
dengan Masjid. Dari segi pemikiran, pak Ahmad tergolong bervisi dan punya semangat
dalam gerakan perbaikan umat. Ia juga tercatat sebagai pengurus Muhammadiyah,
imam masjid dan penceramah.
Kali ini Pak Ahmad
menceritakan anak gadisnya. Menyampaikan sedikit kekaguman anaknya kepadaku
karena kebaikanku tempo lalu. Mempertegas bahwa anaknya telah banyak yang
berminat meminangnya. Tapi semua ditolaknya dengan halus. Ia mengatakan bahwa
anaknya sangat patuh dengannya. Termasuk siapa kelak yang akan menjadi calon
suami diserahkan kepada ayah dan ibunya. Semua ini diceritakan dengan begitu
gamblang. O ya, kepribadian anaknya pun tak luput dari tuturnya.
Sekarang aku tanyakan
padamu kawan. Apakah ini benar-benar terdengar seperti sinyal? Seorang Ayah
menceritakan tentang anak gadis yang dijaganya selama ini dari segala fitnah di
hadapan seorang pemuda, apalagi kalau ini bukan sebuah sinyal. Meski dikemudian
hari ada bantahan bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah sinyal (entahlah, hanya
Tuhan dan Pak Ahmad yang tau isi hatinya). Meski begitu, waktu itu aku berpikir
masa bodoh dan menganggap itu bukanlah sinyal sampai kemudian hal ini aku
ceritakan pada abang tertuaku.
Di luar dugaan,
ternyata abang pun menangkap bahwa itu sebuah sinyal. Lalu Ia memberikan
dukungannya. Katanya bila aku memang suka dengan anaknya dia akan menguruskan
semuanya. Aiih... semua saudara tak ada yang keberatan dengan anaknya Pak Ahmad
bila Aku memang beniat untuk menikahinya. Apa-apaan ini.
“De, kamu mau dengan
Anak Pak Ahmad?” tanya kakak ke 4 ku.
Rasanya dia orang yang
cukup blak-blakan dan apa adanya kalau berbicara.
“Enggak” jawabku
singkat tanpa pikir panjang.
“Serius? Kamu jangan
suka ‘permainkan’ anak orang. Jangan baik kali sama perempuan. Kamu memang gak
niat. Tapi perempuan itu mahluk perasa dan bla bla...”
Petatah petitih kakak
kala itu berdengung-dengung di telingaku. Sampai disini aku memang tidak sama
sekali peduli dengan sinyal itu dan aku tak peduli dengan anaknya Pak Ahmad.
‘Gak
Gampang
Kesibukan kampus telah menyedot semua fokus pikiranku. Sejenak aku lupa dengan sinyal itu. Tetapi tahun telah berganti. Ia berjalan dan tak bisa dihentikan. Itu artinya usiaku mulai bertambah. Dan tahun ini, tepatnya di tahun dua ribu enam belas, genap sudah 25 tahun usiaku. Itu artinya pada bulan dua belas akhir tahun ini aku harus segera mengganti status lajangku. Gusar kembali menguasai hatiku.
Sejak itu, banyak
proses pernikahan sahabat dan senior yang kusaksikan. Warna-warni kisah mereka
mampir di mata dan telingaku. Semakin kesini, hatiku semakin gundah. Betapa
resah tak dapat dipapah. Sebuah perasaan yang lahir akibat acapkali mendapati
kisah para sahabat yang telah berkali-kali meminang namun jodoh tidak
memihaknya. Sedikit banyak mata kepalaku menyaksikan kepercayaan diri mereka
mulai luntur. Ke medan juang keluar
dengan seikat mawar segar, pulang-pulang mawar masih layu digenggaman, kepala
tertunduk dan hati porak poranda.
Aku hidup dan tumbuh
pada sebuah komunitas besar negeri ini, yang dahulunya digelari dengan nama
‘Tarbiyah’. Yang lahir dari prinsip-prinsip dan doktrin ajaran yang komprehensif
tentang Islam. Semua hal telah diatur
dalam Islam dan dalam berjama’ah. Ada aturan-aturan pokok yang mengikat, rigid,
dan tak boleh berubah-ubah (Tsawabit) dan ada yang fleksibel (mutaghayyirat).
Sebuah pemahaman yang hingga kini kental bahkan mengkristal dalam otak dan sanubariku.
Dalam sebuah komunitas
tentu ada aturannya. Di dalam jama’ah, turut diatur persoalan yang berhubungan
dengan pernikahan. Tentang bagaimana prosesnya dan dengan siapa layaknya. Semua
harus sepengetahuan Murabbi. Mengkonsultasikan pada murabbi dan memutuskan
setelah menerima saran dan pendapat murabbi.
Beginilah indahnya
berjamaah. Meski kemudian disini pulalah letaknya persoalan itu. Tentang para
kader yang mengambil jalan sendiri dalam memilih pasangan yang kemudian dianggap
sebagai ‘keluyuran’ nyari jodoh. Tak jarang ini yang memenuhi batok kepala para
sahabat dan jadi penat yang bertimpa-timpa. Sebab doktrin bahwa pilihan jodoh
ada di tangan murabbi berbentur dengan kekhawatiran sosok tersebut tak menarik
di hati. Doktrin yang setengah matang pada jiwa seseorang menciptakan gelombang
kegalauan.
Konsensus Jadi Polemik
‘Kader ikhwan dikatakan militan jika ia menikahi akhwat yang usianya jauh lebih tua darinya dan tidak cantik parasnya’
Sejak dahulu sudah sangat tidak asing terdengar ada kalimat seperti itu. Ini seperti sebuah konsensus. Kesepakatan bersama yang tak tertulis, dipercaya, jadi doktrin dan ‘mazhab’ yang dianut meski hanya mampu dipraktekkan oleh sebagian orang saja.
Tentu bukan itu saja.
Selain dari murabbi sebagai perantara jodoh alias mak comblang, masih ada lain
yang perlu diperhatikan yaitu kelayakan jenjang. Seumpama tentara, di dalam
jamaah pun punyai tingkatan jenjang. Tidak dosa memang menikah beda jenjang. Tapi harus siap jadi bahan
‘cuitan’, dianggap kurang paham dan lagi-lagi kemilitanan akan diragukan. Ini
berimplikasi pada [kadang-kadang] amanah dan kepercayaan yang mulai meluntur
pada kader pelaku.
Menentukan Pilihan
Akhir Februari tahun ini, sepertinya segalanya telah menjadi terlihat benderang. Aku harus memutuskan untuk membunuh ketakutan, menikam selimut khawatir dan segera berlari menjemput pendamping.
Berdasarkan pengalaman
para sahabat, agak was-was rasanya bila pengalaman pertama dalam pengajuan
peminangan mengalami penolakan. Aku mulai menimang-nimang sebatas mana rasa
gelisah dan kecewa dapat dirasakan. Bisa jadi sangat menyakitkan.
Guru spiritual yang
dikenal dengan istilah ‘murabbi’ atau bisa pula disebut ‘pembina’ punya peran
signifikan dalam proses memfasilitasi jodoh. Tepat di pertengahan bulan
februari dengan sejumput gugup yang bertumpuk di dada, aku beranikan ajukan
sebuah nama untuk kujadikan teman dalam bahtera rumah tangga. Setelah sederet
alasan kusampaikan, tampak binar di wajah sang pembina. Itu artinya kartu izin
sudah kukantongi. Sampai di sini, aku bisa bernafas lega.
Bersambung...
Barakallah bang dede dan istri. Setiap pernikahan memang memiliki perjalanannya masing-masing. Semoga menjadi keluarga yang dicintai Allah, ya..
ReplyDeleteAn awsome writing with a difficult word to understand it..
ReplyDeleteBarakallahu lakuma
An awsome writing with a difficult word to understand it..
ReplyDeleteBarakallahu lakuma
Ini ceritanya bersambung, mana lagi lanjutannya bang?
ReplyDelete