Menemukan Cinta (Part 1): Memilih Telaga


Cepologis.com - Tiba-tiba ada yang membuatku terhenyak kaget, saat seorang wanita duduk di sisiku. Dekat dan tanpa jarak. Jemarinya menggenggam tanganku, hangat. Sulit kutampik betapa bahagianya saat itu. Ada perasaan debar yang memburu di dada, pun jua sedikit menyeruak muncul kekhawatiranku, bolehkah aku begini? Sebab aku setengah tak percaya. Ternyata wanita anggun yang duduk di sampingku itu, dialah istriku kini.

Bisik-Bisik Berisik


Perjalanan proses pernikahanku tak banyak diketahui. Tapi hampir semua sahabat, handai taulan mulai merespons saat kabar pernikahanku mampir di telinga. Bukan ingin berbangga diri, tapi meski sering daku merasa siapalah diri ini, tetap juga kabar beserta bumbu-bumbu tak sedap berseliweran di luar sana. Tentang berbagai hal. Pilihan ‘bodohku’ menikah saat masih co-ass. Tentang sosok yang menjadi calon pengantinku, pun taaruf jenis apa yang kugunakan.

Di batas usia mudaku, seperempat abad kini. Tak lagi sebenarnya bisa dikatakan pernikahan dini. Tapi beberapa orang menilai terlalu cepat. Adalah hak siapapun berkata apapun sekehendak hatinya. Dan hidup berdasar atas apa yang orang katakan tentang dirimu akan membuatmu jengah dan susah. Coba rasakanlah!

Bila kutuliskan aksara demi aksara, bukan berarti menunjukkan betapa pentingnya tulisan yang kuurai panjang lebar ini. Tetapi adalah kewajibanku meluruskan yang bengkok, menyapu awan gelap, menyingkirkan syakwasangka, mengunci rapat ghibah dan membendung bisik-bisik berisik terlontar dari bibir yang tak lagi jelas tuannya siapa.

Membicarakan mengenai pernikahan seseorang dan segala tetek bengeknya memang mengasikkan. Begitu juga aku. Tanpa ingin kuputihkan diriku dari perkara nikmatnya bisik-bisik. Tapi sepenuh kuasa kucoba mengekangnya.  Memang tak ada yang bisa terbebas darinya. Itu sebabnya tayangan yang mengakomodir hobi jualan bisik-bisik ini amat laku di layar kaca. Sekecil apapun usaha kita, tetap penting untuk memperingan bobot dan kuantitas bisik-bisik orang banyak. Tulisan ini hanya untuk itu.  Sebelum segalanya mulai terkondensasi dan apalagi terkristalisasi.

Awal Pertemuan


Aku mulai mengenalnya sejak maret tahun 2014, di awal semester genap. Gadis bernama Ira dititipkan ayahnya padaku untuk dibantu mencarikan kos-kosan. Ayah Ira yang juga guru Bahasa Inggrisku kala sekolah di Aliyah dahulu tak tahu mesti meminta tolong pada siapa. Serta merta Ia meminta tolong padaku. Sebab pun hubungan kami sebagai guru-siswa amatlah dekat. Selain itu juga, 5 tahun lamanya masa studiku di Unsyiah dianggap cukup mahir dan mumpuni menguasai lapangan di lingkungan kampus. Demi patuhku padanya, kubantu Ira berkeliling mencari kos-kosan yang layak di seputaran darussalam. Tentu bukan hanya kami berdua. Tapi kuajak teman lain sehingga tak berkesan ikhtilat.

Sewaktu itu, tak ada hal yang berhubungan dengan ketertarikan perasaan saat jumpa kali pertama dengannya. Bahkan saat itupun aku tak benar-benar tau nama panjangnya. Terpikir untuk melamar? Tentu saja tidak. Aku tidak peduli. Seperti juga selama ini kepada setiap gadis yang kutemui aku tak pernah peduli. Sebab tak pernah ada ruang cinta yang kutumbuhkan di dalam dadaku. Bagiku, Ira tak lebih dari seorang anak dari guruku. Tak ada hal spesial yang kusenangi selain dari caranya berbicara yang sopan dan jilbab lebarnya. Hampir rata-rata para akhwat sopan dan berjilbab lebar. Setidaknya begitulah kesan pertamaku.

Meski aku dan ayahnya cukup dekat sebagai hubungan siswa-guru. Tapi sekalipun aku tak pernah bertemu dengan Ira. Namanya saja aku tak tahu, apalagi wajahnya. Meskipun hanya sekedar lewat foto di dunia maya. Dahulu aku hanya mendengar selentingan para lelaki membicarakan betapa spesialnya anak guruku ini. Yah, apalagi kalau bukan pembicaraan mengenai parasnya yang katanya menarik. Pedulikah aku? Sekali lagi, aku tak peduli.

Waktu berputar. Tiga tahun sudah berlalu dari semenjak Ira baru pertama kali kukenal. Sejauh itu tak ada lagi komunikasi yang terhubung. Tak ada basa basi sekedar tanya kabar. Atau pura-pura empati dengan berkirim hadiah.

Tanya Siapa


Di penghujung usia mudaku. Aku mulai gelisah. Meski sejak SMA dahulu sudah kutulis cita-cita menikah pada usia tertentu. Tapi ternyata cukup jauh meleset. Aku harus sadar kuliah di kedokteran gigi membuatku harus menerima kenyataan sulitnya menikah sesuai target.

Di seperempat abad usiaku, tekadku, apapun yang terjadi, aku harus menikah. Tidak boleh lebih dari 25 tahun. Doaku agar dapat dipertemukan dengan jodoh pada akhir tahun ini. Paling realistis memang akhir tahun ini. Sebab, secara finansial, aku harus ekstra mengumpulkan pundi-pundi mahar serta tetek bengeknya ditengah-tengah aktivitas co-ass yang banyak menyedot isi kantong.

Masalahnya, dengan siapa aku akan menikah? Siapakah wanita yang mau menikah dengan pemuda yang tidak mapan sepertiku? Dan jika ada wanita yang mau, apakah akupun mau dengannya. Janji Allah itu pasti. Doa dan bertawakal berkelindan dalam dada.

Tak ada persiapan berlebih untuk mencari siapa sosok yang cocok untuk dijadikan istri. Aku tidak pernah berpikir untuk itu. Tugasku sekarang hanyalah bagaimana membuat diri menjadi pria bertanggungjawab sembari menunggu hari-hari di penghujung tahun 2016. Semoga Tuhan berikan keajaiban seorang istri shalihah jadi permaisuri di hatiku.

Beberapa wanita yang kukenal hilir mudik dalam benak. Mereka memiliki banyak keutamaan. Sialnya malah aku kini yang jadi minder. Apakah mereka itu mau dengan pemuda sepertiku. Beberapa orang menawarkan sahabatnya, ada pula yang menawarkan binaannya, pun ada pula yang diam-diam memberikan perhatian khusus dengan mencoba chating denganku.

Tidak mudah mencari pendamping yang cocok. Aku harus memilih. Pastinya aku tidak ingin yang asal ada. Harus jelas segalanya. Siapa orangnya, bagaimana perangainya, siapa keluarganya, bagaimana agamanya, plus  adakah sebuah getaran sebagai alasan mengapa kita merasa nyaman dengannya. Semua ini bukan perkara yang mudah. Apalagi bagiku. Orang yang tak pernah sekalipun punya pengalaman cinta sejak dahulu.

Sinyal


Semua bermula saat aku pulang kampung untuk mengurusi keperluan rujuk kesehatanku pada akhir tahun 2015. Waktu itu aku diminta untuk mengisi semacam acara motivasi di MAN Subulussalam. Sekolah almamaterku dahulu.

Tetiba dalam sebuah perbincangan cukup hangat dengan Pak Ahmad (ayahnya Ira) terselip pembahasan tentang anak gadisnya. Sesuatu yang sama sekali tak pernah kudengar dari lisan Pak Ahmad selama ini. Sepertinya ia cukup bergairah menceritakan anak gadisnya yang tengah berkuliah akhir semester 5 di Unsyiah.

Biasanya tema pembicaraan kami tak pernah jauh dari perkara agama, ibadah dan aktivitas pemuda muslim. Pak Ahmad sangat mengapresiasi anak-anak muda yang punya semangat untuk membangun agamanya. Biasanya kami berjumpa di Mesjid Taqwa Muhammadiyah. Tak jarang saat berpapasan ia akan menarik lenganku, ‘memaksa’ untuk berlama-lama bercerita tentang Islam dan segala persoalan yang berkaitan dengannya. Pak Ahmad memang begitu. Bukan saja kepadaku. Tapi kepada semua pemuda yang dekat dengan Masjid. Dari segi pemikiran, pak Ahmad tergolong bervisi dan punya semangat dalam gerakan perbaikan umat. Ia juga tercatat sebagai pengurus Muhammadiyah, imam masjid dan penceramah.  

Kali ini Pak Ahmad menceritakan anak gadisnya. Menyampaikan sedikit kekaguman anaknya kepadaku karena kebaikanku tempo lalu. Mempertegas bahwa anaknya telah banyak yang berminat meminangnya. Tapi semua ditolaknya dengan halus. Ia mengatakan bahwa anaknya sangat patuh dengannya. Termasuk siapa kelak yang akan menjadi calon suami diserahkan kepada ayah dan ibunya. Semua ini diceritakan dengan begitu gamblang. O ya, kepribadian anaknya pun tak luput dari tuturnya.

Sekarang aku tanyakan padamu kawan. Apakah ini benar-benar terdengar seperti sinyal? Seorang Ayah menceritakan tentang anak gadis yang dijaganya selama ini dari segala fitnah di hadapan seorang pemuda, apalagi kalau ini bukan sebuah sinyal. Meski dikemudian hari ada bantahan bahwa peristiwa ini bukanlah sebuah sinyal (entahlah, hanya Tuhan dan Pak Ahmad yang tau isi hatinya). Meski begitu, waktu itu aku berpikir masa bodoh dan menganggap itu bukanlah sinyal sampai kemudian hal ini aku ceritakan pada abang tertuaku.

Di luar dugaan, ternyata abang pun menangkap bahwa itu sebuah sinyal. Lalu Ia memberikan dukungannya. Katanya bila aku memang suka dengan anaknya dia akan menguruskan semuanya. Aiih... semua saudara tak ada yang keberatan dengan anaknya Pak Ahmad bila Aku memang beniat untuk menikahinya. Apa-apaan ini.

“De, kamu mau dengan Anak Pak Ahmad?”  tanya kakak ke 4 ku.
Rasanya dia orang yang cukup blak-blakan dan apa adanya kalau berbicara.
“Enggak” jawabku singkat tanpa pikir panjang.
“Serius? Kamu jangan suka ‘permainkan’ anak orang. Jangan baik kali sama perempuan. Kamu memang gak niat. Tapi perempuan itu mahluk perasa dan bla bla...”

Petatah petitih kakak kala itu berdengung-dengung di telingaku. Sampai disini aku memang tidak sama sekali peduli dengan sinyal itu dan aku tak peduli dengan anaknya Pak Ahmad.

‘Gak Gampang


Kesibukan kampus telah menyedot semua fokus pikiranku. Sejenak aku lupa dengan sinyal itu. Tetapi tahun telah berganti. Ia berjalan dan tak bisa dihentikan. Itu artinya usiaku mulai bertambah. Dan tahun ini, tepatnya di tahun dua ribu enam belas, genap sudah 25 tahun usiaku. Itu artinya pada bulan dua belas akhir tahun ini aku harus segera mengganti status lajangku. Gusar kembali menguasai hatiku.

Sejak itu, banyak proses pernikahan sahabat dan senior yang kusaksikan. Warna-warni kisah mereka mampir di mata dan telingaku. Semakin kesini, hatiku semakin gundah. Betapa resah tak dapat dipapah. Sebuah perasaan yang lahir akibat acapkali mendapati kisah para sahabat yang telah berkali-kali meminang namun jodoh tidak memihaknya. Sedikit banyak mata kepalaku menyaksikan kepercayaan diri mereka mulai luntur.  Ke medan juang keluar dengan seikat mawar segar, pulang-pulang mawar masih layu digenggaman, kepala tertunduk dan hati porak poranda.

Aku hidup dan tumbuh pada sebuah komunitas besar negeri ini, yang dahulunya digelari dengan nama ‘Tarbiyah’. Yang lahir dari prinsip-prinsip dan doktrin ajaran yang komprehensif  tentang Islam. Semua hal telah diatur dalam Islam dan dalam berjama’ah. Ada aturan-aturan pokok yang mengikat, rigid, dan tak boleh berubah-ubah (Tsawabit) dan ada yang fleksibel (mutaghayyirat). Sebuah pemahaman yang hingga kini kental bahkan mengkristal dalam otak dan sanubariku.

Dalam sebuah komunitas tentu ada aturannya. Di dalam jama’ah, turut diatur persoalan yang berhubungan dengan pernikahan. Tentang bagaimana prosesnya dan dengan siapa layaknya. Semua harus sepengetahuan Murabbi. Mengkonsultasikan pada murabbi dan memutuskan setelah menerima saran dan pendapat murabbi.

Beginilah indahnya berjamaah. Meski kemudian disini pulalah letaknya persoalan itu. Tentang para kader yang mengambil jalan sendiri dalam memilih pasangan yang kemudian dianggap sebagai ‘keluyuran’ nyari jodoh. Tak jarang ini yang memenuhi batok kepala para sahabat dan jadi penat yang bertimpa-timpa. Sebab doktrin bahwa pilihan jodoh ada di tangan murabbi berbentur dengan kekhawatiran sosok tersebut tak menarik di hati. Doktrin yang setengah matang pada jiwa seseorang menciptakan gelombang kegalauan.

Konsensus Jadi Polemik


‘Kader ikhwan dikatakan militan jika ia menikahi akhwat yang usianya jauh lebih tua darinya dan tidak cantik parasnya’

Sejak dahulu sudah sangat tidak asing terdengar ada kalimat seperti itu. Ini seperti sebuah konsensus. Kesepakatan bersama yang tak tertulis, dipercaya, jadi doktrin dan ‘mazhab’ yang dianut meski hanya mampu dipraktekkan oleh sebagian orang saja.

Tentu bukan itu saja. Selain dari murabbi sebagai perantara jodoh alias mak comblang, masih ada lain yang perlu diperhatikan yaitu kelayakan jenjang. Seumpama tentara, di dalam jamaah pun punyai tingkatan jenjang. Tidak dosa memang menikah beda jenjang. Tapi harus siap jadi bahan ‘cuitan’, dianggap kurang paham dan lagi-lagi kemilitanan akan diragukan. Ini berimplikasi pada [kadang-kadang] amanah dan kepercayaan yang mulai meluntur pada kader pelaku.

Menentukan Pilihan


Akhir Februari tahun ini, sepertinya segalanya telah menjadi terlihat benderang. Aku harus memutuskan untuk membunuh ketakutan, menikam selimut khawatir dan segera berlari menjemput pendamping.

Berdasarkan pengalaman para sahabat, agak was-was rasanya bila pengalaman pertama dalam pengajuan peminangan mengalami penolakan. Aku mulai menimang-nimang sebatas mana rasa gelisah dan kecewa dapat dirasakan. Bisa jadi sangat menyakitkan.

Guru spiritual yang dikenal dengan istilah ‘murabbi’ atau bisa pula disebut ‘pembina’ punya peran signifikan dalam proses memfasilitasi jodoh. Tepat di pertengahan bulan februari dengan sejumput gugup yang bertumpuk di dada, aku beranikan ajukan sebuah nama untuk kujadikan teman dalam bahtera rumah tangga. Setelah sederet alasan kusampaikan, tampak binar di wajah sang pembina. Itu artinya kartu izin sudah kukantongi. Sampai di sini, aku bisa bernafas lega.

Bersambung...












4 Responses to "Menemukan Cinta (Part 1): Memilih Telaga"

  1. Barakallah bang dede dan istri. Setiap pernikahan memang memiliki perjalanannya masing-masing. Semoga menjadi keluarga yang dicintai Allah, ya..

    ReplyDelete
  2. An awsome writing with a difficult word to understand it..
    Barakallahu lakuma

    ReplyDelete
  3. An awsome writing with a difficult word to understand it..
    Barakallahu lakuma

    ReplyDelete
  4. Ini ceritanya bersambung, mana lagi lanjutannya bang?

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel