Kacamata Majnun

Laila dan Qais, seperti dikisahkan dalam roman cinta paling menyejarah. Adalah kisah dua anak manusia yang saling menyukai namun harus berhadapan dengan benteng pemisah cukup tinggi berupa perbedaan kasta sosial, perbedaan adat kebiasaan, perbedaan citarasa dan rupa-rupa keluarga. Meski cinta telah terikat rapat, namun kisah cinta mereka berakhir tragis di pusara.

Laila dan Qais adalah dua tokoh sentral dalam roman cinta berjudul 'Laila & Majnun' karya Nizami yang sangat fenomenal di dunia. Seperti juga kisah cinta antara Romeo dan Juliet. Yang ini versi Timur Tengah.

Aku tidak ingin mengulas lengkap, kratak-kritik, kisah cinta mengenaskan antara Laila dan Qais. Aku hanya ingin menekankan pada satu jawaban Qais pada salah satu segmen dalam kisah tersebut yang cukup menarik untuk direnungkan oleh siapapun.

Pada saat rasa cinta sudah mulai menguasai dada mereka. Laila dan Qais sudah tak bisa lagi berpikir jernih. Setelah dua pihak keluarga memisahkan cinta Laila dan Qais. Disitulah kegetiran hidup baru saja dimulai.

Qais menghabiskan waktunya di gurun yang asing. Kadang ia berlari ke arah bukit, kadang pula ia tergopoh-gopoh menuruni lembah. Begitulah hari-hari dilalui Qais tanpa alasan yang jelas mengapa ia harus melakukan itu. Mulutnya hanya ceracau menyebut nama Laila, Laila, dan Laila. Hatinya gersang. Wajahnya kusut masai tak terawat. Pakaian sudah tak tentu wujudnya. Qais seperti gembel di gurun. Melihat itu orang-orang merasa iba. Meski tak ingin menyebut gila, apalah yang hendak dikata, Qais memang telah menjadi gila. Gila karena cinta.

Sedangkan Laila, sang kekasih Qais, merasakan hal yang sama. Cinta telah menggerogoti lemak di tubuhnya. Ia tampak kurus dan hidup tak bergairah. Seperti seorang pesakitan, Ia pun hanya bisa ceracau kacau menyebut-nyebut nama kekasihnya Qais. Sedetikpun tak pernah angannya lekang dari memikirkan Qais.

Tersiarlah kabar kisah cinta Laila dan Qais hingga ke telinga Raja saat itu. Sang Raja penasaran dan heran mendengar kisah ini. Rajapun menemui Qais yang seumpama mayat hidup di lembah sunyi. Raja kemudian mendatangi Laila yang terpasung di ruang sunyi jiwanya. Dilihatnya lekat-lekat wajah Laila. Apa kiranya yang membuat Qais senewen begitu rupa. Sang raja tak menemui apa-apa. Meski Laila cantik tapi tergolong biasa-biasa saja. Malah sekarang sudah hilang sinar wajahnya. Lalu apa yang membuat Qais rela mengorbankan hidupnya demi cintanya pada Laila.

Rasa penasaran Sang Raja semakin membumbung. Ditemuinya kembali Qais. Ia katakan bahwa di istananya ada banyak sekali wanita setara kecantikan Laila bahkan ada yang jauh lebih cantik dan menarik lagi. Raja mengajak Qais ke istananya untuk mengakhiri derita hidup Qais. Tapi apa kira-kira jawaban Qais?

Inilah jawaban dari Qais yang sampai saat ini lekat-lekat masih menempel di dinding memori kepalaku. Menjadi sebuah doktrin dan rumus paling ampuh agar hal yang sama yang dialami Laila dan Qais jangan pernah terjadi padaku.

Apakah jawaban Qais?

"Tuan Raja. Aku tidak bisa mengikuti ajakanmu. Janganlah Tuan melihat Laila menggunakan kacamata tuan, lihatlah Laila dengan kacamata majnun (si gila) sepertiku."

Sampai di sini, kita tertegun dengan pernyataan Qais. Tapi begitulah adanya. Sebenarnya masalah cinta hanyalah masalah penggunaan dan pemilihan kacamata. Tidak mudah memang mengganti kacamata. Tapi insyaAllah kita bisa menggantinya. Kacamata majnun adalah kacamata yang ditaburi bunga dan hiasan-hiasan setan. Agar supaya pengguna kacamata majnun  lupa pada Sang Pemilik Cinta sesungguhnya.

Begitulah kawan. Sebelum kalimat akad merdu dikumandangkan. Cinta bisa datang dan pergi. Yang tak boleh pergi dari hati adalah  cinta pada Allah dan Rasulnya. Selamanya.

0 Response to "Kacamata Majnun"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel