Di Bukit Jelaga, Di Jurang Telaga


Cepologis.com - Jelaga adalah setiap butiran halus dan lunak yang terbentuk dari asap lampu semprong berwarna hitam. Baik. Tak satupun inginkan kelegaman jelaga. Jelaga adalah semisal malam pekat gulita. Jelaga adalah kematian cahaya di lintasan lorong-lorong logika yang terjaring segan untuk bangkit dari kegagalan. Jangan biarkan pikiranmu dilengketi jelaga! 

Di telaga, airnya bening bermisal kaca. Riak-riak air terbentuk akibat kejatuhan benda dari arah langit, bisa pula karena ikan melompat riang gembira. Telaga adalah visi bening kesuksesan hidup dan mata air surga di ujung asa.

Perlu dipahami tak selamanya diatas bukit itu bahagia. Berdiri di puncak memang menyenangkan. Semua orang mendongak melihat kita. Berada diatas bukit kadang hanyalah satu fase, yang mungkin sampainya kita disitu bukan karna kerja keras, tapi karena Allah karuniakan kelebihan kepada kita. Orang-orang diatas bukit itu; pintar, kaya, rupawan dan publik figur. Pastilah, rasa bangga itu mampir dan semayam di dalam dada.

Aku sendiri bukanlah pemuda yang berada di atas bukit. Kamu, bisa jadi sedang berada di situ. Siapa pula yang tidak senang hatinya dilahirkan dari rahim orang yang kaya? Siapa pula yang tidak bersyukur terlahir dengan wajah rupawan? Apakah ada orang yang tidak senang mendapat hadiah pujian karena kepintarannya?

Pintar, kaya dan rupawan sejak lahir adalah karunia. Kamu boleh berbangga, tapi itu tak bisa dibanggakan. Apanya yang mau dibanggakan? Bukankah semua itu hanyalah keberuntungan kelahiran, bukan sesuatu yang diusahakan.

Di lingkunganku  hiduplah orang-orang yang mendapat karunia pintar. Rasanya mudah sekali mereka memahami mata kuliah. Mereka membaca, lalu mereka paham. Mereka menghafal, lalu hafalan terekam. Mereka bahagia dengan nilai bagus yang diberikan pendidik. Mudah sekali bagi mereka belajar.

“Kalau kita mau belajar, pasti bisa!” ujar mereka untuk meyakinkan para kutu busuk seperti aku yang ringkih dan terbata-bata mengulang lalu hilang, membaca lalu lupa.

Mereka berada diatas bukit dan aku berada di dasar jurang. Para pendidik mendidik dengan ‘ilmu perbandingan’. Membandingkan orang yang punya keberuntungan kelahiran, yaitu para pemilik ‘otak encer’ dengan orang pemilik ‘otak beku’. Maka tak jarang ‘ilmu perbandingan’ ini melahirkan kata pujian yang melangit dan hinaan yang jahanam.

Sampai kapan aku bisa lupa terhadap sebuah kalimat dari pendidik yang semakin membekukan otakku ‘Kenapa kamu tidak seperti fulan? kamu bodoh’.

Aku memang berada di dasar jurang. Dan ‘ilmu perbandingan’ itu sangat menyakitkan. Dia bukan menghidupkan, tapi mematikan. Dia bukan memotivasi tapi memvonis mati. Lihatlah mata para pendidik itu melihat diriku. Tak sedikit pun ada harganya nasib hidupku dihadapannya. Mereka seperti bernafsu melumatku yang mencoba berusaha sekuat tenaga mengimbangi si pemilik otak encer meski itu sama seperti sedang membakar diri.

Aku bisa berusaha, semampuku, sampai batas tertentu. Tapi tolong, jangan bandingkan lagi. Tahukah, saat aku berusaha memahami, berkali-kali aku mengulang, berkali-kali kubanting buku tak paham, berkali-kali kuputar ulang rekaman suaraku namun sedikit sekali yang kuingat dan berkali-kali kuteriakkan tapi tetap sedikit yang tersimpan. Sampai panas kepalaku lalu aku berdiri. Sudah tak sanggup aku berdiri lalu aku pergi ketaman. Di situ tak pula jadi bisa, aku lantas berendam di air segar. Semua petuah agar aku jadi orang cerdas dari situs online kulakukan. Tapi segitulah kadar otakku. Tak bisa aku mengimbangi mereka pemilik karunia otak encer. Ya, seperti yang dikatakan oleh para pendidik itu, otakku telah membeku.

Aku yakin aku tidak sendiri. Apakah kamu yang membaca artikel ini merasakan hal yang sama seperti aku? Yang tengah berada di dasar jurang. Tenanglah, di dasar kita tidak sendiri. Di dasar jurang masih ada telaga. Telaga bening. Karena Allah punya cara sendiri membuat kita bangkit. Karena Allah maha adil dan kemaha adilannya tak perlu dipertanyakan. Disebalik kelebihan ada kekurangan yang menganga.  Dan dibalik kekurangan ada kelebihan yang mempesona.

Jika berada di dasar jurang sepertiku, mari kita menyelami telaga potensi. Di dalamnya pasti akan banyak binar keindahan. Batuan kilau, ikan manis nan lincah, kesegaran hidup dan kedamaian yang mengendap. Itulah potensi.

Setiap makhluk dilahirkan bersama potensi yang menyertainya. Dan potensi setiap manusia berbeda-beda. Alangkah indahnya bila pendidik membantu menggali potensi, bukan malah membusukkan anak didiknya dengan ilmu perbandingannya.

Sebaliknya, mereka yang merasa tengah berada di puncak. Bisa jadi dipenuhi jelaga yang menempel. Seharusnya mereka semakin dekat dengan cahaya, malah gulita yang liputi benaknya. Jelaga hadir memburamkan mata. Kadang pula tak sedikit yang jatuh dari bukit.


Meski diatas bukit. Berhati-hatilah dengan jelaga!  

0 Response to "Di Bukit Jelaga, Di Jurang Telaga"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel