Tragedi Es Longan

Matahari tengah merekah berpendar pagi ini. Hangatnya bukan hanya mengelus lembut bunga kamboja di sepanjang trotoar jalan kampus Unsyiah tapi juga menyentuh lembut kulitku yang segar setelah diguyur air mandi pagi.

Hari ini baju putih sejenis jubah itu menemukan pemiliknya lagi. Sejak sebulan yang lalu menghepaskan napas lega saat liburan kini sudah saatnya bergumul dengan baju jubah putih praktikum, seperangkat alat kedokteran gigi dan sambutan senyum dokter yang sulit diterjemah. O ya, satu lagi, serta sejumput harapan hari ini bernasib baik.

Telat satu detik saja masuk ke dalam ruang praktikum yang statusnya masih menumpang di jurusan tetangga sebelah, dikau akan menyesal seumur hidup. Blok periodonsia kali ini membuat semua mahasiswa megap-megap. Sulit bernafas normal. Tak terkecuali aku.

Perkuliahan dimulai. Semua instruktur yang merupakan dokter pembimbing suudah berada di depan ruangan. Hari ini nasib baik, sepertinya. Tidak ada satupun yang telat hadir. Sms berantai yang disebarkan komting semalam berjalan mulus. Sekarang mood para instruktur sedang berada di garis normal. Tapi entahlah beberapa menit ke depan apakah suasana good mood masih bisa dipertahankan. Atau akan terjadi tragedi kapal pecah. He he.

“Cecep!” tiba-tiba salah seorang dokter istruktur menyebut namaku.  

Entahlah, dia sedang memanggil namaku atau berseru menyentak karena ada yang salah dari sikapku. Sudah kubilang, para instruktur ini sulit diterjemah suasana hatinya.

“Saya dokter,” kusahut saja secepatnya.

Salah apa daku kali ini. Apakah karena aku lupa baca al-matsurat  atau shalat subuh tak berjamaah pagi tadi. Nada-nadanya seperti akan ada hal yang tak beres terjadi.  Ya tuhan…

Demi menuruti panggilan gerakan telapak tangan instruktur yang terlihat bagai titah tuan raja, segera kuhampiri dengan tubuh sekonyong-konyong dan terasa retak berkeping-keping.

Masyhur sekali di seantero kampus tentang sosok dosen satu ini. Sesiapa yang takut menantang maut, jangan coba-coba bersitatap apalagi bermasalah. Kau mengerti maksudku kawan?

Dalam pada itu. Suasana hatiku tengah kacau balau. Aku mencium aroma kematian. Dihadapanku dosen berinisial AR, eh bukan sebut saja Mila berkomat-kamit memberi titah. Ya rabbi, aku tidak bisa fokus mendengar apa yang dimintanya. Namun coba kusimpulkan saja ya. Maklum dalam pada itu daku tak bisa menggunakan nalar normal. Maksudnya apa coba?

Dokter mila (MILAtih jantung, hee) minta aku untuk beli siomay yang pedas tapi kecapnya sedikit dan porsinya yang dibanyakin. Dan satu lagi beliau pesan longan. Maksudnya, beliau meminta aku untuk membeli pesanannya barusan di kantin kampus. Tak ada masalah sekilas dengan kejadian itu. Tapi aku tetap mencium aroma kematian. Pasalnya, longan tak pernah ada dalam kamus pembendaharaan kataku. Parahnya lagi satu kata sebelum kata longan disebut tak begitu jelas.

Longan itu apa? Apakah dia sejenis makanan atau cuma bungkusan makanan. Innalillah. Betapa naifnya diriku. Hi hi

Jangan kau tanya kenapa aku tak memastikan dengan bertanya apa itu longan kepada dokter Mila. Bisa-bisa aku akan dihina-dinakan dihadapan semua teman dan instruktur yang ada di ruangan itu. Alih-alih memilih untuk bertanya pada dokter Mila apa itu longan, aku ngeluyur pergi demi segera menghindar dari wajah ketusnya dokter Mila. Jangan bodoh pikirku. Kan aku bisa tanya ke penjual di kantin apa itu longan.

***

Di kantin, riuh rendah suara mahasiswa. Ini tempat makan atau tempat pusat pasar. Teringat iklan jaman dulu “e eh, makan jangan bersuara”. J .

“Kak, kakak tau longan apa?” tanyaku pelan-pelan dan hati-hati pada penjual siomay.

Kuharap sekeliling tak ada yang mendengar percakapanku. Ah, betapa malunya aku kalau ternyata longan itu adalah sesuatu yang sudah familiar bagi orang lain.

“Waduh, enggak tau juga tuh dek”

Wuih. Berarti bukan aku saja yang gak tau apa itu longan. Lega yang tak melegakan. Yang kuinginkan adalah jawaban apa itu longan. Atau barangkali aku yang salah menyebutkan. Entahlah, tanya pada rumput yang bergoyang.

“tolonglah kak. Saya disuruh dokter beli longan. Katanya ada dijual di kantin ini” kataku memelas ketidakpastian. Padahal kalau orang gak tau ngapain dipaksa.

Sejenak kakak itu memanggil pemilik siomay. Ibu-ibu paruh baya. Ibu pemilik siomay itu menghampiriku. Harap-harap cemas bisa kudapatkan jawaban apa itu longan.

“Oh, longan itu dek, empek-empek yang bentuknya kayak ikan, kapal laut. Macem-macemlah. Kita belum buat itu dek, kitapun siomay ini baru buka, jadi belum lengkap” begitu mantapnya sang ibu pemilik siomay ini menjawab. Eyaelah bu… kalau empek-empek mah ane juga tau.
“Yang benar bu longan itu empek-empek?” tanyaku ragu.

Ibu itu menjawab dengan anggukan kepala dalam-dalam. Artinya ia yakin dengan seyakin-yakinnya. Tinggal aku dengan setumpuk keraguan. Tidak mungkin dokter Mila meminta sesuatu yang sesuatu itu tidak ada dikantin ini. Longan oh longan…

***

Di pintu masuk ruang praktikum aku mulai bergetar kembali. Aroma kematian tercium semerbak dari arah wajah dokter Mila. Bila tak berdosa ingin rasanya kutancapkan sonde tepat diulu hatiku. Atau kurobek-robek leher dengan scalpel tajam setajam silet. Heu heu. Dapatkah kau bayangkan beban jiwaku saat ini?

“Mana minumnya?” tanya dokter Mila singkat. Tatapan mata tajamnya tak pernah bersahabat.
Aih, minuman apa lagi. Bukannya dokter Mila tak pesan minum tadi. Yakin betul di memori kepalaku tak ada pesanan minuman. Yang dipesan adalah siomay dan longan. Atau jangan-jangan longan itu sejenis minuman. Ah entahlah. Yang jelas dokter Mila tak pesan minuman.

“Maaf, dokter tadi kan gak pesan minum, atau saya  belikan dikantin PSIK”

Bergetar bibirku menjawabnya. Kulihat aura wajahnya berubah. Ini aura yang kukenali sebagai pertanda akan terjadi bencana besar di seantero biosfer dan atmosfer ruangan praktikum. Aura mematikan. Aroma kematian tercium kental dan menyengat. Tamatlah riwayatku. J

“Memangnya di kantin PSIK ada?” suaranya nyaring menusuk telinga, tak memeduli tuan.

“Ada air aqua kan dokter” tak tau lagi harus kujawab apa. Tak ada jawaban yang bisa membendung amarah. Daku pasrah. Raut wajah dokter Mila makin memerah seumpama kepiting rebus. Ops!

“Dia gak tau itu es longan, Mila” sahut intruktur baik hati disebelahnya. Busyet dah! longan itu adalah sejenis es. Es longan. Es longan adalah minumnya. Duhai para penjagal, bunuhlah diriku di rawa-rawa. Hi hi.

“Ia dokter, mohon maaf saya enggak tau apa itu longan” ah, tiba tiba badanku terasa mengecil, mengecil, mengeciiil. Segala kutukan yang belum terucap sudah terdengar ditelingaku.

Tak ayal lagi seribu sindiran meluncur deras dari bibir dokter mila. Menusuk-nusuk. Sakitnya tuh disini (pegang telinga). Wahai engkau para mahasiwa, jika mendapati dirimu pada kondisi sepertiku dan tidak tahan dengan banjir kalimat yang menusuk. Aku sarankan pura-puratuli saja. Ha ha.

Tragedi es longan yang tak terlupakan. Dari seorang pemuda kampong di tengah riuh rendahnya irama kota raya.

Andai kubaca Al-ma’tsurat selepas subuh tadi mungkin tak begini jadinya. Ulangi tiga kali surat An-Nas. Minal jinnati wannas… (berlindung dari golongan jin dan manusia). Hi hi.

Tanjung Selamat, 25/10/14

0 Response to " Tragedi Es Longan"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel