Rasisme Pilkada Subulussalam



      
Cepologis.com - Sejarah kelam rasisme yang terbentang dihadapan kita seolah tidak pernah berujung. Dimulai dari zaman kenabian hingga sekarang ini. Dahulu, sebelum Rasulullah Muhammad SAW diutus menjadi rasul, bangsa arab kental sekali dengan kebanggaan berlebihan terhadap suku dan kabilahnya masing-masing. Tak jarang peperangan antar suku dan antar kabilah terjadi hanya karna ego, begitulah cara cara yang ditempuh dalam melambungkan eksistensi golongannya.

Bangsa Eropa pernah pula menghadapi masa-masa tragis dampak rasisme dari seorang Hitler yang menganggap bahwa bangsa Arya merupakan ras paling superior di dunia. Hitler melalui Nazinya melakukan pembantaian habis-habisan (genosida) terhadap suku bangsa non Arya terutama Yahudi yang menghantarkan pada sejarah perang dunia II.

Di Indonesia, masih sangat kental dalam ingatan kita, bagaimana diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Dimulai dari masa penjajahan Belanda dengan VOC-nya melakukan pembantaian pada etnis Tionghoa yang menyebabkan hilangnya nyawa lebih dari 10.000 orang. Rasisme terhadap etnis Tionghoa ini terus berlanjut dan puncaknya adalah kerusuhan anti-Tionghoa pada Mei 1998.

Bila kita mengurai sejarah panjang rasisme di berbagai bangsa, ini menjadi satu pembahasan yang tidak ada ujungnya. Rasisme ini akan terus berlanjut sampai masa-masa yang akan datang. Rasisme sendiri dalam pengertiannya adalah sebentuk sikap kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu. Suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.

Rasisme dalam Kepentingan

Dampak dari rasisme ini bisa kita rasakan seperti diskriminasi sosial, kekerasan rasial dan termasuk pada kondisi terparah yaitu genosida. Banyak diantara kita tidak menyadari dampak terhebat yang bisa ditimbulkan dari pembanggaan secara berlebihan terhadap ras keturunan. Bangga terhadap diri sendiri tentu boleh saja, akan tetapi bukan kebanggaan yang berlebihan yang menyebabkan orang lain tidak nyaman dengan sikap kita.

Akhir-akhir ini rasisme mulai merebak kembali menjadi salah satu cara bagi individu tertentu dalam mewujudnya keinginan dan kepentingan tertentu. Dalam pergantian kekuasaan rasisme menjadi satu cara yang dianggap paling efektif untuk menjatuhkan lawan. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Setidaknya hal inilah yang mulai terlihat dan menggejala pada pilkada Kota Subulussalam.

Isu rasial dalam pemilu bukan hal yang baru dalam sejarah dunia perpolitikan Indonesia. Wakil walikota Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok) kerap mendapatkan perlakuan tidak nyaman pada pilkada Jakarta beberapa waktu lalu terkait etnis Tionghoa yang melekat dalam dirinya. Pilkada Jakarta setidaknya telah membuktikan bahwa isu rasial sudah tidak laku lagi dalam jualan politik di masa kini, terlepas dari adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemenangan. 

Dalam dunia internasional kita dikagetkan pada kemenangan Barack Obama di pemilu presiden Amerika. Ras kulit hitam yang dahulunya termarjinalkan kini menjadi orang nomor satu di Amerika. Lagi-lagi isu rasisme dalam jualan politik menjadi tak laku.

Melihat geliat pilkada Kota Subulussalam menjadi menarik untuk diperbincangkan mengingat Kota Subulussalam belum lama menjadi daerah otonom. Ini merupakan pemilu kali kedua yang dilaksanakan di kota yang dihuni sekitar 68.000 jiwa. Penduduk setempat terdiri dari beragam suku yang bermukim dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Kota Subulussalam seperti suku Aceh, Pak-Pak, Batak Toba, Nias, Jawa, Minang, dan lain-lain. 

Apakah rasisme dalam jualan politik menjadi satu faktor kemenangan sehingga ini diterapkan oleh kandidat calon walikota untuk memenangkan hati masyarakat atas dirinya? Sepertinya ini menjadi perdebatan seru dan kerap memunculkan kontroversi.

Sada Kata
           
Semboyan “sada kata” menjadi nafas perjuangan masyarakat Subulussalam. Sada kata yang berarti satu kata  telah mampu menyatukan keberagaman suku dan ras yang tersebar di Kota Subulussalam. Kekhawatiran kemudian muncul saat tokoh politik mulai menghembuskan nilai-nilai perbedaan suku dalam kompetisi menuju kursi walikota dan wakil walikota. Jika masalah ini diperuncing bukan tidak mungkin dapat memperkeruh suasana yang berujung pada anarkisme rasial. Maka kalau sudah begini, semboyan hanya tinggal sebatas kata.

Sebagai tokoh yang cerdas dan berwibawa, tak elok ketika kita mengedepankan rasial menjadi bahan untuk pencitraan diri dan atau digunakan untuk membunuh citra lawan. Kondisi pendidikan masyarakat yang sebagian besar tergolong menengah ke bawah sangat rentan sekali termakan isu-isu rasial. Tugas dari tokoh-tokoh masyarakat, para pemimpin, alim ulama, tokoh-tokoh cendikia yang memahami betul dampak rasisme jika dimunculkan demi kepentingan tertentu, harus menjadi corong pencerdasan bagi masyarakat awam. Bukan malah ambil bagian dalam mengompori masyarakat.

Dalam pemilihan kepala daerah, hal yang baik untuk ditonjolkan adalah prestasi-pretasi kepemimpinan, bukti-bukti nyata dan terobosan-terobosan baru dalam menyelesaikan masalah ekonomi, sosial dan kemasyarakatan. Tentunya muaranya adalah kesejahteraan yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai-nilai perbedaan sebagai suatu keberagaman yang dapat menambah khasanah budaya. Justru, potensi kemajuan Kota Subulussalam terlihat dari heterogennya latar belakang, suku dan ras penduduknya.

Hari ini, bukan saatnya lagi kita berbicara tentang keturunan siapa, suku apa, berasal dari mana. Akan tetapi siapa saja yang memiliki ide cemerlang dan kemampuan yang lebih baik untuk mengelola Kota Subulussalam menjadi daerah yang maju dan bermartabat maka dialah yang berhak untuk dipilih oleh rakyat. Sederhananya adalah saat sikap dan tindak-tanduk kita tak baik dengan masyarakat maka jangan harap masyarakat bersimpati dengan kita. Siapa menabur angin ia akan menuai badai.

Dalam agama Islam, tidak dikenal perbedaan suku, ras, status sosial dan tingkat pendidikan.  Semua orang memiiki hak yang sama. Semua orang memiliki kesempatan yang sama. Dalam sejarahnya Bilal Bin Rabbah salah seorang sahabat nabi yang terhina dimasa jahiliyahnya bisa menjadi gubernur bahkan bukan di daerahnya sendiri. Bilal diangkat menjadi gubernur di Damsyiq, Syiria. Ini membuktikan bahwa Islam sangat menolak sebentuk rasisme dalam hal apapun termasuk dalam pencaturan politik.

Tugas kita semua adalah mengawasi jalannya Pilkada Kota Subulussalam. KPU juga perlu menindaklanjuti tokoh-tokoh politik yang mengedepankan SARA dalam berkampanye. Agar tidak meluas, berikan teguran dini atau sanksi berat agar terwujud pilkada yang damai. Sehingga cita-cita dan harapan terwujudnya bumi sada kata yang sinergis, aman dan sejahtera bisa terwujud. Jika nilai rasisme masih menggejala di Kota Subulussalam. Mungkinkah sebuah kota idaman yang maju dan sejahtera bisa terwujud?           


1 Response to "Rasisme Pilkada Subulussalam"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel