Tugas Terakhir
Saturday, July 13, 2013
Add Comment
Cepologis.com - Pada satu sudut yang heningnya terasa mencekam. Ia duduk
dengan air mata berbutir-butir. Ini kesekian kalinya ia harus
menyelesaikan tugasnya. Ia mencoba mereka-reka arti pada sabda terakhir
yang didengarnya. Namun, lagi-lagi pikirannya buntu pada satu kenyataan bahwa
ia diciptakan untuk taat “Sami’na waato’na”.
Tugas yang selalu melibatkan kematian dan darah ini sangat mengganggu
jiwanya. Akhir-akhir ini ia menangkap sinyal dari langit bahwa duka dan
air mata, darah dan nyawa akan terus menerus mengakar diurat nadinya. Sekali ia
berpikir kapan tugas ini akan selesai. Umurnya sudah sangat tua. Bisa saja dia berlaku sombong dengan tugas hebat
yang diembannya dan umur
panjang hingga jelang kiamat. Tapi dia dicipta tidak untuk itu. Ia lemah
sebagaimana juga makhluk kebanyakan. Terbukti saat tawaran khalifah dilemparkan
padanya, dahulu ia menolak.
“Tidak!”
Ia berteriak
memecah keheningan. Dilihatnya bertumpuk-tumpuk tubuh tanpa nyawa berserakan
bagai daun yang bergugur. Ah... lagi-lagi ia mendengus masih dengan air
matanya. Tangis itu tidak untuk onggok tubuh yang tercabik tanpa busana, sebab
ia kenal jiwa itu. Saban minggu mengunjungi kediamannya yang indah dan asri.
Namun, ia merasa muak dengan kehadirannya. Yah, mereka datang dengan kondisi
mirip kematiannya sekarang.
Tangisan itu
adalah untuk pemuda-pemuda dengan Al-Qur’an yang dipegang kaku didadanya. Mereka juga pernah singgah di gubuk
halamannya. Membentuk sebuah lingkaran kecil. Salah satu diantara mereka
berujar dengan bahasa yang lembut. Mereka bertafakur dan tadabbur. Kesedihan
itu semakin meliputinya tatkala didapati puluhan pemuda serupa yang terkapar
akibat tugas maha penting yang diembannya. Syahid.
Rasanya memang ia
sudah terlalu renta. Ubannya sudah sulit terbilang. Dalam pekatnya jiwa ia
kerap bergumam “Laut, Laut. Kapan tugas terakhirmu tiba?” bibirnya
meninggalkan senyuman getir. Risau pada sesuatu yang belum terjadi. Janji dari
langit.
Berabad-abad yang
lalu saat sejarah mencatat dirinya sebagai pembunuh paling sadis di muka bumi.
Satu generasi nyaris pupus dan lantak. Ketika itu tak ada tangis dan iba dalam
benaknya. Dengan nafsu yang meluap sangat-sangat agresif. Dengan satu komando
yang bergema bahkan seluruh alam menyaksikannya. Puncak gunung pun lenyap dibuatnya.
Bersaut-saut seruan yang membungkam rasa angkuh. Angkuh pada kemahadahsyatan
yang sejak hadirnya Nuh selama 309 tahun menyepelekan ucapannya. Saat itu
terbungkam suara-suara bising bersama hilangnya nyawa.
Tinggal
keheningan. Tugas itu lagi-lagi diakhiri dengan keheningan.
@@@@
Pagi ini
genting-genting rumah memantulkan kilat sinar matahari. Membentuk pelangi yang
penuh warna. Orang-orang melihatnya dengan penuh suka dan cita. Pagi ini
perhelatan akbar dimulai. Sebuah pesta meriah. Ada kebahagiaan dihati Laut. Ia
akan bertemu dengan teman-teman lamanya. Sudah lama ia tak berjumpa dengan
Jabal. Dahulu mereka berdua sering menjalankan tugas bersama-sama. Kerinduannya memuncak.
Saat menikmati
hidangan pesta, Laut banyak bertemu dengan teman-temannya. Bercengkrama.
Berbagi suka dan duka. Saling menceriterakan misi yang diemban begitu berat.
“Kadang aku heran
melihat sebagian tingkah mereka, Har” ungkap Rimba pada Laut. Laut kerap
dipanggil Bahar oleh teman-temannya.
Laut hanya
tersenyum.
“Coba kau fikir
Har, sudah banyak bencana yang kulancarkan kecil maupun besar tapi tak
secuilpun menanam jera dihatinya. Tetap saja ia menebang hutan. Memotongi
rambutku dengan gila. Sayangnya penebang kelas teri kerap tertangkap petugas,
sedang penebang besar-besaran dilindungi dan difasilitasi. Aneh kan? Entahlah
aku sendiri merasa jengah melihat dasi-dasi mereka. Suatu saat aku ingin
melumat tubuh mereka.
O ya Har,
kemarin lalu ada lihat berita di televisi tidak? Satu kampung terkubur”
Laut membelalak.
Ia melihat intensitas bencana akhir-akhir ini terus meningkat. Laut tau betul
bahwa semakin lama tugas akan semakin padat menjelang tugas terakhir tiba.
Sabda langit menggaung seumpama tabuhan genderang perang. Melesat cepat kedalam
hati dan jiwa. Tak butuh waktu lama tubuhpun akan segera merespon sabda itu
lalu dalam hitungan sepersekian detik sabda berubah jadi aksi tanpa kendali.
Pada bagian itu nurani laut menukik. “ah, damai... pasti tak begini jadinya
jika mereka mengetahui”.
“Hei har, Kau
pikir aku tega. Kau tau sendirilah bahwa ini bukan semata kemauanku. Mereka
yang katanya “khalifah” dimuka bumi ini yang membuat kerusakan. Bukan begitu?”
harap Rimba segera sirna kemurungan diwajah Laut. Bagaimanapun hati laut
adalah paling lembut sejagad. Tak kuasa hatinya gerimis bila melihat kematian
dan darah.
“Ha ha... Rimba,
Rimba. Santai sajalah lah bro! Biarkan Si Laut tenggelam dengan perasaannya”
tiba tiba Sungai dan Jabal angkat suara setelah sejak tadi mencuri dengar pembicaraan Rimba dan
Laut.
Sungai tercatat
sebagai pembunuh paling tega. Mautnya tak segera. Perlahan-lahan
dan mematikan. Itu juga
gara-gara manusia menganggapnya
sampah. Melemparkan sampah dipipinya hingga tersumbat aliran air dan... penyakit.
Rimba menatap
berjenak-jenak wajah Laut. Ah, bisa jadi Ia akan ikut murung di pesta akbar ini
jika terus berada didekat
Laut. Ia juga lelah dengan tugas-tugasnya. Saatnya bersantai ria. Rimba segera
melebur bersama Sungai sedangkan Jabal bermaksud hendak membersamai Laut. Rimba Meninggalkan Laut dalam
ketermenungannya.
Laut terus
menatap gelas bening dihadapannya dengan tatapan yang getir. Memorinya
tentang masa lalu kembali berbelingsatan di otaknya. Sejak awal penciptaannya
di permukaan bumi. Allah memberinya warna yang indah, biru. Hampir semua orang
menyukai warnanya.
“Har, Har…” tegur Jabal, Laut dingin tak bergeming.
“Kau nampak
sangat tua, sungguh”
“Bukankah tua
sebuah keniscayaan? Kau sendiri wajahmu selalu berkabut”
“Ha, ha…
benarkah? Kita semua memang sudah sama-sama tua” Jabal menampakkan sebaris gigi
putihnya.
“Aku punya firasat yang tidak begitu mengenakkan. Akhir
akhir ini aku sering mimpi buruk, Bal”
“Mengenai apa?” tiba-tiba Jabal dibalut rasa gugup. Matanya
mendelik tak berkedip menunggu Laut sebagai orang yang dituakan dari sebegitu
banyak undangan yang hadir di pesta ini menceritakan mimpi buruknya. Ini akan
menjadi info yang sangat penting.
“Bayangan gambar tugas terakhir kita”
“Bagaimana? Ceritakan! Apakah ini sebuah sabda?” Jabal makin
merangsek. Lututnya bertaut dengan lutut Laut. Wajah mereka hanya berjarak 30
senti. Berkali-kali Jabal menelan ludahnya. Wajahnya antusias. Kontras dengan
wajah laut yang datar dan cenderung cemberut.
“Kuharap ini bukan bagian dari sabda. Tapi, kau tau sendiri
Bal. Sepertinya sudah berbagai pengalaman pahit bertumpuk dimemori kita, yang
kalau kita tuliskan tak akan cukup kertas dan tinta” Jabal mengangguk-angguk mencoba
memahami makna dari tiap bait kalimat Laut. Laut melanjutkan kata-katanya
“Kejahatan tak terkendali, Bangunan-bangunan pencakar langit
menjulang megah, konflik panjang tak berkesudahan, amukan bencana kecil dan
besar bertubi-tubi, teknologi canggih mengusai dunia, akhlak manusia
diposisikan menjadi urutan yang kesekian, orang-orang berdasi semakin menggila
mencomoti lembar demi lembar kertas bergambar pahlawan, bukankah ini
semua mengarah pada sabda itu, Bal? Kulihat sesuatu yang besar dan amat mengerikan
dalam mimpiku. Mimpi itu membuat berat kepalaku hingga ubanku semakin hari
semakin bertambah dan begitu juga dengan kerutan diwajahku” Laut menyeruput jus
mangga segar. Rasa manisnya bertukar menjadi hambar saat menempel di lidah
laut. Jabal membayangkan kengerian itu. Badannya bergidik.
“Lalu kemudian? Ceritakan lagi padaku…” Jabal mendesak laut.
Akan tetapi saat laut menarik napas. Serine terompet menggaung dengan hebatnya.
Hamper-hampir saja memecahkan telinga. Suaranya terus menggema diseantero jagat
raya. Tak ada lorong yang tak dilewati dan tak ada celah yang tak dimasuki.
Bunyi alarm itu dapat menghentikan nafas dan aliran darah sejenak dan kemudian
berganti dengan suara gemuruh dag dig dug. Jika menuruti kepanikan maka
lenyaplah akal. Karena panik hanya akan menyebabkan otak tak mampu berpikir.
Jantung semua makhluk penghuni langit dan bumi berdentum
dengan kencangnya. Tak ada yang tak panik. Laut melemparkan sisa
minumannya dan berlari meninggalkan Jabal sambil berteriak-teriak
“Hari itu telah tiba!!!”
“Hari yang dijanjikan!”
“Huoooii…! Sabda! Sabda!”
Laut terus berlari secepat kilat menuju kerumunan tanpa
memperdulikan Jabal yang terengah-engah mengejarnya sambil memanggil-manggil.
Berkali-kali Jabal terjungkal. Laut menerobos kerumunan sembari berteriak tidak
henti-henti dan disusul Jabal dibelakangnya.
Mereka berdua sudah berada pada posisi paling depan dari
kerumunan. Kedua mata mereka terbelalak demi mengetahui sesuatu yang selama ini
amat dikhawatirkan. Inilah saatnya. Laut menangkupkan kedua telapak tangannya
di mulut. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak kencang. Dimatanya terlihat
kaca-kaca, bening mengkilat. Suasana riuh ramai menjadi hening tak terkomando,
senyap sekali. Dalam keheningan itu hatinya mengeja huruf demi huruf yang tertera
dilayar yang dipancarkan dari semacam proyektor yang maha canggih. Hatinya
memekik.
“T-U-G-A-S-T-E-R-A-K-H-I-R!”
Dan apabila langit terbelah
Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan
Dan apabila Lautan dijadikan meluap (Attakwir)
Dan apabila bumi diratakan
Dan memuntahkan apa yang ada didalamnya menjadi kosong
(Alinsyiqaq)
@@@
0 Response to "Tugas Terakhir"
Post a Comment