Tugas Terakhir


Cepologis.com - Pada satu sudut yang heningnya terasa mencekam. Ia duduk dengan air mata berbutir-butir.  Ini kesekian kalinya ia harus menyelesaikan tugasnya. Ia mencoba mereka-reka arti pada sabda terakhir  yang didengarnya. Namun, lagi-lagi pikirannya buntu pada satu kenyataan bahwa ia diciptakan untuk taat “Sami’na waato’na”.                                           
      Tugas yang selalu melibatkan kematian dan darah ini sangat mengganggu jiwanya. Akhir-akhir ini ia menangkap sinyal dari langit bahwa  duka dan air mata, darah dan nyawa akan terus menerus mengakar diurat nadinya. Sekali ia berpikir kapan tugas ini akan selesai. Umurnya sudah sangat tua. Bisa saja dia berlaku sombong dengan tugas hebat yang diembannya dan umur panjang hingga jelang kiamat. Tapi dia dicipta tidak untuk itu. Ia lemah sebagaimana juga makhluk kebanyakan. Terbukti saat tawaran khalifah dilemparkan padanya, dahulu  ia menolak.
“Tidak!”
Ia berteriak memecah keheningan. Dilihatnya bertumpuk-tumpuk tubuh tanpa nyawa berserakan bagai daun yang bergugur. Ah... lagi-lagi ia mendengus masih dengan air matanya. Tangis itu tidak untuk onggok tubuh yang tercabik tanpa busana, sebab ia kenal jiwa itu. Saban minggu mengunjungi kediamannya yang indah dan asri. Namun, ia merasa muak dengan kehadirannya. Yah, mereka datang dengan kondisi mirip kematiannya sekarang.
Tangisan itu adalah untuk pemuda-pemuda dengan Al-Qur’an yang dipegang kaku didadanya. Mereka juga pernah singgah di gubuk halamannya. Membentuk sebuah lingkaran kecil. Salah satu diantara mereka berujar dengan bahasa yang lembut. Mereka bertafakur dan tadabbur. Kesedihan itu semakin meliputinya tatkala didapati puluhan pemuda serupa yang terkapar akibat tugas maha penting yang diembannya. Syahid.
Rasanya memang ia sudah terlalu renta. Ubannya sudah sulit terbilang. Dalam pekatnya jiwa ia kerap bergumam “Laut, Laut. Kapan tugas terakhirmu tiba?” bibirnya meninggalkan senyuman getir. Risau pada sesuatu yang belum terjadi. Janji dari langit.
Berabad-abad yang lalu saat sejarah mencatat dirinya sebagai pembunuh paling sadis di muka bumi. Satu generasi nyaris pupus dan lantak. Ketika itu tak ada tangis dan iba dalam benaknya. Dengan nafsu yang meluap sangat-sangat agresif. Dengan satu komando yang bergema bahkan seluruh alam menyaksikannya. Puncak gunung pun lenyap dibuatnya. Bersaut-saut seruan yang membungkam rasa angkuh. Angkuh pada kemahadahsyatan yang sejak hadirnya Nuh selama 309 tahun menyepelekan ucapannya. Saat itu terbungkam suara-suara bising bersama hilangnya nyawa.
Tinggal keheningan. Tugas itu lagi-lagi diakhiri dengan keheningan.
@@@@
Pagi ini genting-genting rumah memantulkan kilat sinar matahari. Membentuk pelangi yang penuh warna. Orang-orang melihatnya dengan penuh suka dan cita. Pagi ini perhelatan akbar dimulai. Sebuah pesta meriah. Ada kebahagiaan dihati Laut. Ia akan bertemu dengan teman-teman lamanya. Sudah lama ia tak berjumpa dengan Jabal. Dahulu mereka berdua sering menjalankan tugas bersama-sama. Kerinduannya memuncak.
Saat menikmati hidangan pesta, Laut banyak bertemu dengan teman-temannya. Bercengkrama. Berbagi suka dan duka. Saling menceriterakan misi yang diemban begitu berat.
“Kadang aku heran melihat sebagian tingkah mereka, Har” ungkap Rimba pada Laut. Laut kerap dipanggil Bahar oleh teman-temannya.
Laut hanya tersenyum.
“Coba kau fikir Har, sudah banyak bencana yang kulancarkan kecil maupun besar tapi tak secuilpun menanam jera dihatinya. Tetap saja ia menebang hutan. Memotongi rambutku dengan gila. Sayangnya penebang kelas teri kerap tertangkap petugas, sedang penebang besar-besaran dilindungi dan difasilitasi. Aneh kan? Entahlah aku sendiri merasa jengah melihat dasi-dasi mereka. Suatu saat aku ingin melumat tubuh mereka.
O ya Har,  kemarin lalu ada lihat berita  di televisi tidak? Satu kampung terkubur”
Laut membelalak. Ia melihat intensitas bencana akhir-akhir ini terus meningkat. Laut tau betul bahwa semakin lama tugas akan semakin padat menjelang tugas terakhir tiba. Sabda langit menggaung seumpama tabuhan genderang perang. Melesat cepat kedalam hati dan jiwa. Tak butuh waktu lama tubuhpun akan segera merespon sabda itu lalu dalam hitungan sepersekian detik sabda berubah jadi aksi tanpa kendali. Pada bagian itu nurani laut menukik. “ah, damai... pasti tak begini jadinya jika mereka mengetahui”.
“Hei har, Kau pikir aku tega. Kau tau sendirilah bahwa ini bukan semata kemauanku. Mereka yang katanya “khalifah” dimuka bumi ini yang membuat kerusakan. Bukan begitu?” harap Rimba segera sirna kemurungan diwajah Laut.  Bagaimanapun hati laut adalah paling lembut sejagad. Tak kuasa hatinya gerimis bila melihat kematian dan darah.
“Ha ha... Rimba, Rimba. Santai sajalah lah bro! Biarkan Si Laut tenggelam dengan perasaannya” tiba tiba Sungai dan Jabal angkat suara setelah sejak tadi mencuri dengar pembicaraan Rimba dan Laut.
Sungai tercatat sebagai pembunuh paling tega. Mautnya tak segera. Perlahan-lahan dan mematikan. Itu juga gara-gara manusia menganggapnya sampah. Melemparkan sampah dipipinya hingga tersumbat aliran air dan... penyakit.
Rimba menatap berjenak-jenak wajah Laut. Ah, bisa jadi Ia akan ikut murung di pesta akbar ini jika terus berada didekat Laut. Ia juga lelah dengan tugas-tugasnya. Saatnya bersantai ria. Rimba segera melebur bersama Sungai sedangkan Jabal bermaksud hendak membersamai Laut. Rimba Meninggalkan Laut dalam ketermenungannya.
Laut terus menatap gelas bening dihadapannya dengan tatapan yang  getir. Memorinya tentang masa lalu kembali berbelingsatan di otaknya. Sejak awal penciptaannya di permukaan bumi. Allah memberinya warna yang indah, biru. Hampir semua orang menyukai warnanya.
“Har, Har” tegur Jabal, Laut dingin tak bergeming.
“Kau nampak sangat tua, sungguh”
“Bukankah tua sebuah keniscayaan? Kau sendiri wajahmu selalu berkabut”
Ha, ha… benarkah? Kita semua memang sudah sama-sama tua” Jabal menampakkan sebaris gigi putihnya.
“Aku punya firasat yang tidak begitu mengenakkan. Akhir akhir ini aku sering mimpi buruk, Bal”
“Mengenai apa?” tiba-tiba Jabal dibalut rasa gugup. Matanya mendelik tak berkedip menunggu Laut sebagai orang yang dituakan dari sebegitu banyak undangan yang hadir di pesta ini menceritakan mimpi buruknya. Ini akan menjadi info yang sangat penting.
“Bayangan gambar tugas terakhir kita”
“Bagaimana? Ceritakan! Apakah ini sebuah sabda?” Jabal makin merangsek. Lututnya bertaut dengan lutut Laut. Wajah mereka hanya berjarak 30 senti. Berkali-kali Jabal menelan ludahnya. Wajahnya antusias. Kontras dengan wajah laut yang datar dan cenderung cemberut.
“Kuharap ini bukan bagian dari sabda. Tapi, kau tau sendiri Bal. Sepertinya sudah berbagai pengalaman pahit bertumpuk dimemori kita, yang kalau kita tuliskan tak akan cukup kertas dan tinta” Jabal mengangguk-angguk mencoba memahami makna dari tiap bait kalimat Laut. Laut melanjutkan kata-katanya
“Kejahatan tak terkendali, Bangunan-bangunan pencakar langit menjulang megah, konflik panjang tak berkesudahan, amukan bencana kecil dan besar bertubi-tubi, teknologi canggih mengusai dunia, akhlak manusia diposisikan menjadi urutan yang kesekian, orang-orang berdasi semakin menggila mencomoti lembar demi lembar kertas  bergambar pahlawan, bukankah ini semua mengarah pada sabda itu, Bal? Kulihat sesuatu yang besar dan amat mengerikan dalam mimpiku. Mimpi itu membuat berat kepalaku hingga ubanku semakin hari semakin bertambah dan begitu juga dengan kerutan diwajahku” Laut menyeruput jus mangga segar. Rasa manisnya bertukar menjadi hambar saat menempel di lidah laut. Jabal membayangkan kengerian itu. Badannya bergidik.
“Lalu kemudian? Ceritakan lagi padaku…” Jabal mendesak laut. Akan tetapi saat laut menarik napas. Serine terompet menggaung dengan hebatnya. Hamper-hampir saja memecahkan telinga. Suaranya terus menggema diseantero jagat raya. Tak ada lorong yang tak dilewati dan tak ada celah yang tak dimasuki. Bunyi alarm itu dapat menghentikan nafas dan aliran darah sejenak dan kemudian berganti dengan suara gemuruh dag dig dug. Jika menuruti kepanikan maka lenyaplah akal. Karena panik hanya akan menyebabkan otak tak mampu berpikir.
Jantung semua makhluk penghuni langit dan bumi berdentum dengan kencangnya.  Tak ada yang tak panik. Laut melemparkan sisa minumannya dan berlari meninggalkan Jabal sambil berteriak-teriak
“Hari itu telah tiba!!!”
“Hari yang dijanjikan!”
“Huoooii…! Sabda! Sabda!”
Laut terus berlari secepat kilat menuju kerumunan tanpa memperdulikan Jabal yang terengah-engah mengejarnya sambil memanggil-manggil. Berkali-kali Jabal terjungkal. Laut menerobos kerumunan sembari berteriak tidak henti-henti dan disusul Jabal dibelakangnya.
Mereka berdua sudah berada pada posisi paling depan dari kerumunan. Kedua mata mereka terbelalak demi mengetahui sesuatu yang selama ini amat dikhawatirkan. Inilah saatnya. Laut menangkupkan kedua telapak tangannya di mulut. Dadanya bergemuruh, jantungnya berdetak kencang. Dimatanya terlihat kaca-kaca, bening mengkilat. Suasana riuh ramai menjadi hening tak terkomando, senyap sekali. Dalam keheningan itu hatinya mengeja huruf demi huruf yang tertera dilayar yang dipancarkan dari semacam proyektor yang maha canggih. Hatinya memekik.
“T-U-G-A-S-T-E-R-A-K-H-I-R!”
Dan apabila langit terbelah
Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan
Dan apabila Lautan dijadikan meluap (Attakwir)
Dan apabila bumi diratakan
Dan memuntahkan apa yang ada didalamnya menjadi kosong (Alinsyiqaq)
            @@@



0 Response to "Tugas Terakhir"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel