Al-Amin Takkan Pernah Mampir, Apalagi Bermukim
Saturday, July 13, 2013
Add Comment
Sebuah Catatan.
Seorang anak menangis
sejadi-jadinya.
“Ikuutt…!”
paksa sang anak saat ibunya hendak melangkah.
“Adek! Jangan!
Mama mau ke rumah sakit. Mau disuntik adek? Hiss ngeri” mencoba jurus menakut-nakuti
anak agar tidak menangis dan minta ikut. Ternyata berhasil. Sang ibu kemudian
pergi melenggang ke hajatan tetangganya. Nyaman menanam kebohongan sejak dini.
“Diam
kasep! Anak mama gak boleh cengeng. Kalau nangis terus nanti keluar hantu. Nah,
tuh dengar…” si Ayah di belakang pintu sibuk memainkan suara mulutnya agar
terlihat angker. Berhasil. Anak terdiam sambil memeluk ibunya erat- erat. Kolaborasi
kebohongan yang apik.
“Cep,
cep, cep! Anak Baik. Sakit ya kakinya jatuh. Pukul kodoknya. E eh, kodoknya
lari!”
Hampir
semua anak bertumbuh dengan tunas kebohongan yang dipupuk sejak dari benih. Mereka
lambat laun akan mengetahui bahwa selama ini sang ibu membohonginya. Mereka mungkin
hanya akan diam. Mereka tidak akan berontak marah dengan sekian banyak ketidak
jujuran yang mesti ditelan setiap harinya. Akan tetapi mereka mempunyai satu
modal dasar untuk menjadi seorang pembohong.
Lalu
layakkah kita berteriak di mimbar-mimbar, dari podium ke podium lain, dari satu
majelis ke majelis lain, dekan bekal sekantung keyakinan yang kuat untuk mengubah
bangsa berujar dengan fasihnya “Kejujuran adalah nilai yang harus dimiliki oleh
bangsa ini”, padahal sesungguhnya anak kita dirumah kerap disuguhi mentah-mentah
dengan kebohongan-kebohongan yang dianggap biasa.
Anak
itu sekarang sudah dewasa. Anak itu adalah kita. Mungkin kita menganggap itu
hanya masa kecil dahulu. Ibu tidak berbohong lagi kok sekarang. Tapi tahukah,
bahwa ternyata kebohongan itu sudah mendarah daging di dalam diri kita. Kalau kita
jujur mengukur, tak terhitung jumlahnya kebohongan demi kebohongan yang
terlontar. Berapa kali sudah kita bohongi orang tua saat kita duduk kongkow-kongkow
dengan teman-teman dan atau berkencan dengan seorang pujaan hati? Berapa kali
sudah kita bohongi guru-guru kita disetiap ujian selalu ada resep khusus yang
diletakkan di tempat-tempat khusus? Sudah berapa kali kita bohongi teman-teman
kita, orang-orang yang ada disekeliling kita? Bahkan disetiap candaan kita selalu
diwarnai kebohongan.
“Celakalah orang yang
berbicara lalu ia berdusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah
ia” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Dan ketika
hati ini sudah menjadi keruh maka nilai kejujuran sudah tidak berarti lagi. Bahkan
nilai “sumpah” yang seharusnya tinggi dianggap sepele.
“Tidaklah seseorang
bersumpah demi Allah lalu ia masukkkan kedalam sumpahnya sebesar sayap nyamuk,
melainkan itu menjadi noktah dalam hatinya sampai hari kiamat” (HR. Tirmizi Dan
Hakim dengan sanad yang Shahih)
Allah… aku merindukan sosok yang
jujur sebagaimana pribadi RasulMu, hadir ditengah-tengah dunia yang penuh
kebohongan ini. Mungkinkah Al-Amin dan Siddik itu mampir dan bermukim di hati
kami, sebagaimana Rasulullah dan sahabat Abu Bakar?
Ketidakjujuran
ini ibarat mata rantai yang tidak terputus. Turun-temurun. Mari kita mulai
memotong satu mata rantai itu agar tidak ada ketersambungan dengan generasi
yang akan datang.
Dalam sebuah pidatonya saat
Rasulullah wafat. Abu bakar dengan mata yang sembab berujar “ Rasulullah pernah berdiri dihadapan kita
sebagaimana aku berdiri saat ini” kata-kata terpotong dan Abu Bakar
menangis hingga air matanya menetes. Ia melanjutkan “Beliau bersabda: kamu harus berlaku jujur karena kejujuran bersama
kebajikan dan keduanya berada di syurga”.
Dalam kitab yang masyhur
Tazkiyatun Nafs Said Hawa menuliskan bahwa dusta merupakan dosa menjijikkan dan
aib yang keji.
Subhanallah… begitu tingginya nilai kejujuran
Lamlagang, 20 Juni
2012
Dalam Balutan Subuh
yang Dingin dan Sepi
http://www.dakwatuna.com/2012/07/18/21654/al-amin-takkan-pernah-mampir-apalagi-bermukim/#axzz2Z13nUAEP
http://www.dakwatuna.com/2012/07/18/21654/al-amin-takkan-pernah-mampir-apalagi-bermukim/#axzz2Z13nUAEP
0 Response to " Al-Amin Takkan Pernah Mampir, Apalagi Bermukim "
Post a Comment